Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Rahmatullah Safrai

Penikmat kopi di ruang sepi penuh buku || Humas || Penulis Skenario Film || Badan Otonom Media Center DPD KNPI Kota Cilegon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Maman dan Jamlekon

29 November 2019   12:00 Diperbarui: 29 November 2019   12:44 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emak mengurut pinggang Bapak di atas bale di beranda rumah. Mereka lagi memikirkan tentang anaknya yang semakin hari kok tingkah lakunya nggak jauh berbeda sama Jamlekon.

Tidak seperti anak-anak tetangga yang bergaul dengan sesama anak manusia, sedangkan Maman sama seekor monyet---alasannya sih biar beda makanya bergaul sama Jamlekon, jangan heran kalo tingkah lakunnya mirip-mirip Jamlekon gitu. Hanya Jamlekon sahabat setia yang bisa menemaninnya sepanjang waktu.

Pertemanan itu berawal dari Gunung Gede saat Maman dalam perjalanan pulang kemping. Maman melihat di atas tanah ada seekor anak monyet terluka. Maman yang gak tega ngeliatnya lekas mengobati, memberinya petadin dan memperban luka. 

Karena gak tega meninggalkan anak monyet itu, Maman pun akhirnya membawanya pulang. Mengurusnya hingga kini dan diberinya sebuah nama Jamlekon, nama belakang Maman -- Maman Jamlekon.

Kalo kisah dari Emak beda lagi. Emak jadi inget 20 tahun yang lalu, saat bulan pertama mengandung Maman. Saking bahagianya mereka karena selama 10 tahun pernikahan baru bisa perut Emak jadi mesin produksi hasil jerih payahnya sepanjang malam sama Bapak. 

Emak emang gak terlalu rewel saat ngidam. Tapi tiba-tiba saja Emak ngidam pengen nonton pergelaran drama tari wayang orang yang menceritakan kisah romantis Rama dan Sinta. 

Sebenarnya sih Emak hanya pengen lihat Agus, salah satu aktor ganteng idolanya itu. Emak gak cerita pengen ketemu Agus yang pernah ditaksirnya, (tapi si Bapak keburu ngelamar duluan) kalo Bapak tahu kan bisa cemburu berat. 

Maka malam itu mereka datang ke sebuah tempat pementasan drama tari itu.
Emak nunggu-nunggu sang Rama yang biasannya diperankan oleh Agus, tapi lama menunggu malah yang menjadi Rama buka si Agus, tetapi orang lain yang gak seganteng Agus. Tapi Emak tetap menunggu. 

Sampai kemudian Hanuman si kerah putih keluar. Ternyata yang jadi Hanuman itu adalah si Agus. Karena udah ngefans banget, biar pun jadi sesosok kera, Agus tetap saja gagah di mata Emak. Mungkin karena itu kali ya kini anak semata wayang yang dilahirkannya berkelakuan mirip Hanuman dan lebih akrab bersahabat dengan bangsa wanara.

Maman turun juga dari pohon jengkol. Ia berjalan sambil makan pisang menuju beranda rumah. Sambil pula garuk-garuk rambut kepalanya yang penuh ketombe, persis kaya Jamlekon.

Emak dan Bapak hanya bisa memirit dada. Mencoba ikhlas dan bersabar menghadapi anak semata wayangnnya itu. Biar pun kelakuannya seperti itu mereka tetap sayang---sayang gak ada anak yang lain dan sayang pula hanya Maman generasi pewaris kebon jengkol keluarga yang berdiri sejak zaman penjajahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun