Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

RUU Perampasan Aset: Antara Harapan dan Sandera Pentingan

15 September 2025   05:45 Diperbarui: 15 September 2025   05:56 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih dari satu dekade, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana hanya berputar-putar di meja legislatif tanpa hasil pasti. Padahal, urgensinya begitu jelas: mengembalikan kekayaan negara yang dirampok lewat korupsi, pencucian uang, atau tindak pidana lain yang merugikan publik.

RUU ini menawarkan terobosan penting. Jika selama ini perampasan aset hanya bisa dilakukan setelah pelaku divonis bersalah, maka RUU membuka mekanisme baru: perdata in rem. Aset mencurigakan dapat digugat langsung, bahkan jika pemiliknya sudah melarikan diri, meninggal dunia, atau kasus pidananya tak kunjung selesai. Inilah yang disebut banyak pihak sebagai “senjata pamungkas” pemberantasan korupsi.

Antara Praduga Tak Bersalah dan Keadilan Substantif

RUU Perampasan Aset berhadapan dengan kritik serius terkait hak asasi manusia. Prinsip pembuktian terbalik yang digunakannya membuat pemilik harta mencurigakan harus membuktikan legalitas kekayaannya.

Bagi sebagian kalangan, mekanisme ini dianggap berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah. Ada ketakutan rakyat kecil bisa jadi korban, apalagi bila aparat bertindak tanpa kendali. Tetapi di sisi lain, tanpa mekanisme ini, negara sering kali tak berdaya menghadapi koruptor yang lihai menyembunyikan harta hasil kejahatan.

Tumpang Tindih Aturan dan Jalan Buntu

Saat ini KUHP dan UU Tipikor sudah mengenal perampasan aset sebagai hukuman tambahan setelah vonis pidana. Jika RUU ini berlaku, maka ada dua jalur: perampasan melalui putusan pidana dan perampasan tanpa putusan pidana.

Tanpa harmonisasi yang jelas, keduanya bisa saling bertabrakan. Alih-alih memperkuat, justru berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi. Inilah yang membuat sebagian pihak ragu: apakah aturan baru ini akan benar-benar jadi solusi, atau malah membuka sengketa hukum baru?

Resistensi Politik: Musuh yang Tak Terlihat

Lebih jauh, ada faktor politik yang sulit dibantah. Mekanisme perampasan tanpa vonis jelas membuat banyak elit gelisah. Sebab, tak tertutup kemungkinan aset mereka atau keluarganya ikut terseret.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun