Baru-baru ini publik kembali digegerkan dengan laporan kerugian sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ironisnya, di saat BUMN mencatat kerugian hingga triliunan rupiah, komisaris dan direksi tetap menerima gaji jumbo bahkan miliaran rupiah per bulan. Ada yang hanya rapat sekali sebulan, tapi fasilitasnya setara pejabat tinggi negara.
Seharusnya BUMN menjadi motor penggerak ekonomi dan penjaga kedaulatan bangsa. Namun faktanya, sebagian justru jadi ladang bancakan, sarang korupsi, dan proyek gagal. Lalu, di mana letak profesionalitas pengurusannya?
Analisis Masalah
Ada beberapa alasan mengapa BUMN rawan boncos sekaligus jadi ladang korupsi:
1. Jabatan politis, bukan profesional.
Banyak kursi komisaris dan direksi ditempati karena balas jasa politik, bukan keahlian di bidangnya. Akibatnya, keputusan lebih dipengaruhi kepentingan elite ketimbang kepentingan perusahaan dan rakyat.
2. Pengawasan lemah.
Skandal korupsi triliunan rupiah kerap muncul di berbagai BUMN. Dari kasus pengadaan pesawat, mark-up proyek, hingga kredit fiktif. Semua terjadi karena minimnya transparansi dan lemahnya penegakan hukum.
3. Beban biaya tinggi.
Struktur manajemen yang gemuk, gaji selangit, serta fasilitas mewah membuat biaya operasional membengkak. Padahal kinerja justru stagnan atau bahkan merugi.
4. Rakyat jadi penanggung terakhir.