1. Profesional berbasis kompetensi. Jabatan dipegang oleh orang yang ahli dan amanah, bukan karena kedekatan politik.
2. Audit ketat harta pejabat. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, setiap pejabat yang hartanya melonjak drastis langsung diaudit. Jika terbukti tidak wajar, kekayaannya disita untuk baitul mal.
3. Akuntabilitas langsung. Jika terjadi kerugian karena kelalaian atau korupsi, pejabatlah yang wajib mengganti, bukan rakyat.
4. Transparansi publik. Rakyat berhak mengetahui bagaimana harta negara dikelola. Tidak boleh ada rahasia yang ditutup-tutupi ketika menyangkut kepentingan umum.
Dengan mekanisme ini, mustahil ada komisaris tidur bergaji miliaran, sementara BUMN menanggung rugi hingga triliunan.
Penutup
Kerugian BUMN bukan sekadar angka merah dalam laporan keuangan, tapi bukti nyata gagalnya pengelolaan dan lemahnya profesionalitas. Lebih parah lagi, kerugian itu ditutup dengan uang rakyat—sementara elite tetap bermewah-mewah.
Islam mengajarkan, amanah harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Korupsi bukan hanya merugikan negara, tapi juga menyalahi syariat dan mengundang murka Allah.
Sudah saatnya kita menuntut sistem pengelolaan yang bersih, profesional, dan Islami. Tanpa itu, BUMN hanya akan terus menjadi lubang hitam yang menggerogoti uang rakyat, dan para pengkhianatnya kelak akan menanggung beban bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI