Kadang saya galau. Di saat impian dan cita-cita terasa jauh, semangat seperti meredup. Saya teringat satu bab di kitab Fikrul Islam yang membahas Qadariyatul Ghaibiyah. Intinya, manusia sering mencampuradukkan perbuatan nyata dengan perbuatan Tuhan. Kita berkata, “saya sudah berusaha, tapi yang menakdirkan tetap Allah.” Kalimat itu benar, tapi sering kali dijadikan alasan untuk berhenti berusaha lebih keras.
Saya membaca ulang bab itu untuk memacu diri. Bahwa takdir memang urusan Allah, tapi tugas kita adalah menjalankan kehidupan sesuai aturan-Nya: merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan terus memperbaiki. Dari sana saya sadar, jangan sampai pepatah “hidup itu seperti roda, kadang di atas, kadang di bawah” dijadikan alasan untuk pasrah.
Roda Kehidupan dan Sikap Pasrah
Banyak orang menjadikan pepatah ini sebagai dalih untuk menyerah. Buruh yang di-PHK menenangkan diri dengan ucapan, “roda berputar, nanti juga dapat kerja lagi.” Petani yang gagal panen berkata, “sudah nasib, nanti juga diganti rezeki lain.” Bahkan bangsa kita pun sering merasa cukup dengan label “negeri kaya raya,” seolah kekayaan alam otomatis akan menyejahterakan rakyat.
Padahal, roda itu tidak akan pernah benar-benar membawa kita ke atas jika tidak ada usaha untuk menggerakkannya.
Islam Mengakui Pergiliran Nasib
Al-Qur’an pun menyebutkan bahwa hidup memang berganti-ganti:
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia.” (QS. Ali Imran: 140)
Namun pergiliran itu tidak terjadi otomatis. Ia bergantung pada usaha, iman, dan kesungguhan manusia. Bangsa yang berilmu dan bekerja keras akan naik, sementara yang malas dan hanya pasrah akan tertinggal.
Contoh Faktual: Bukan Roda, Tapi Kayuhan
Sejarah membuktikan bahwa perubahan nasib tidak lahir dari menunggu giliran: