Banyak anak muda hari ini terlihat gelisah. Hidup mereka penuh tanda tanya. Ada yang resah tentang masa depan, ada yang bimbang menentukan arah hidup, bahkan tidak sedikit yang merasa hampa meski hidup serba cukup. Fenomena ini sering disebut sebagai "galau".
Sebagian orang menganggap kegalauan itu wajar. Katanya, masa muda memang penuh kebingungan. Namun jika dibiarkan, kegelisahan yang berkepanjangan bisa berbahaya. Ia melahirkan depresi, kehilangan semangat, bahkan membuat sebagian anak muda terjerumus ke hal-hal yang merusak.
Pertanyaan pun muncul: mengapa anak muda mudah sekali galau? Apakah karena salah didik di rumah, atau karena sistem kehidupan yang membentuk mereka? Pertanyaan ini penting dijawab agar kita tidak berhenti pada keluhan, tetapi bisa menghadirkan solusi nyata.
Penyebab Kegalauan
Salah satu penyebabnya adalah pola asuh di rumah. Banyak keluarga sibuk dengan urusan ekonomi, tetapi lalai menanamkan akhlak. Anak tumbuh dengan materi cukup, namun miskin teladan. Mereka mencari pegangan di luar. Sayangnya, yang ditemukan justru racun moral.
Lingkungan juga memberi dampak besar. Media sosial dipenuhi gaya hidup hedon. Ukuran bahagia direduksi menjadi seberapa banyak "like" dan seberapa mewah penampilan. Anak muda pun mudah minder, membandingkan diri, lalu larut dalam kegalauan yang tak berujung.
Lebih dalam lagi, sistem pendidikan sekuler ikut memperparah. Kurikulum hanya menekankan prestasi duniawi. Jiwa dibiarkan kosong. Padahal, hati yang kosong tidak akan kuat menghadapi badai kehidupan.
Kisah Nyata di Sekitar Kita
Fenomena ini bukan cerita jauh. Di rumah kita pun bisa terjadi. Ada anak muda yang sudah ditempa di pesantren, bahkan berhasil menyelesaikan kuliah. Setelah lebih dari sepuluh tahun merantau, ia kembali ke rumah. Namun setahun lebih ia di rumah terasa kehilangan arah.
Hari-harinya diisi dengan istirahat, membantu keluarga, dan sesekali mencari peluang usaha atau pekerjaan. Dari luar, orang melihatnya santai. Padahal di balik itu, ia juga menyimpan kegelisahan. Ia rindu lingkungan yang dulu membesarkannya di kota besar. Di kota kecil, ia merasa asing. Potensinya belum tergali sepenuhnya.
Orang tua wajar merasa prihatin. Usia terus bertambah, sementara kemandirian belum tampak jelas. Harapan orang tua adalah anak segera mapan, punya penghasilan, dan membangun masa depan. Harapan ini tanda kasih sayang. Namun jika disampaikan dengan nada menekan, justru berubah menjadi beban batin.
Perspektif Islam