Tulisan ini bukan ditujukan untuk menyalahkan siapa pun. Sebaliknya, ini adalah bentuk autokritik. Saya bagian dari sistem itu—pernah menjadi mahasiswa, kini menjadi pendidik. Dan saya ingin jujur: kita sedang menghadapi krisis orientasi dalam pendidikan tinggi.
Di atas kertas, semua tampak ideal. Ada visi mencetak lulusan unggul, kurikulum dirancang sistematis, program kerja tersusun rapi. Tapi dalam kenyataan, banyak kampus kita lebih mirip pabrik gelar ketimbang kawah pembentukan peradaban.
Ijazah: Hanya Sebuah Kertas, Jika Tanpa Karakter
Dalam praktiknya, banyak mahasiswa—dan mungkin juga dosen—terjebak dalam pola pikir administratif. Yang penting lulus. Yang penting IPK bagus. Soal apakah benar-benar paham materi, bisa berpikir kritis, punya kepedulian sosial—itu perkara belakangan.
Saya tahu betul, sebab saya juga pernah mengalaminya. Ada masa dimana mengajar pun bisa sekadar menggugurkan kewajiban. Mahasiswa hadir, dosen hadir, absensi lengkap, tugas terkumpul, nilai keluar. Tapi apakah jiwa mereka tumbuh? Apakah mereka pulang dari kampus dengan visi hidup yang lebih jelas? Inilah wajah ironis pendidikan kita.
Pabrik Gelar, Bukan Kawah Peradaban
Kita bangga tiap tahun mewisuda ribuan sarjana. Tapi ketika ditanya, “Apa kontribusi mereka terhadap masyarakat?”, kita sering tercekat. Terlalu banyak lulusan, terlalu sedikit yang benar-benar membawa perubahan.
Uang kuliah lancar, kuliah pun lancar. Bahkan di beberapa tempat, kemudahan akses bisa dibeli. Makalah bisa dipesan, skripsi bisa dititipkan, bahkan ijazah bisa dipalsukan. Tapi masalahnya bukan sekadar pada ijazah palsu, melainkan pada ketulusan palsu, motivasi palsu, dan kompetensi palsu. Saya tidak mengatakan semua begitu. Tapi cukup banyak untuk menimbulkan krisis kepercayaan di tengah masyarakat.
Lulusan Banyak, Tapi Negeri Tetap Sakit
Setiap tahun jumlah sarjana meningkat, tapi masalah bangsa tetap menumpuk. Korupsi tidak menurun. Ketimpangan sosial tetap menganga. Layanan publik tak banyak membaik. Ada yang salah bukan pada jumlah lulusan, tapi arah dan nilai yang dibawa lulusan.
Ijazah menjadi semacam tiket sosial untuk naik kelas. Tapi jika karakter dan kapasitas tidak ikut naik, maka yang terjadi hanyalah perubahan status tanpa perubahan kualitas.