Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Utang yang Menagih: Dari Dompet Pribadi hingga Kadaulatan Negeri

9 Agustus 2025   15:00 Diperbarui: 21 Agustus 2025   06:16 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat satu kejadian yang membuat saya merenung lama.
Seorang kawan, alat produksinya rusak, saya bantu dengan meminjamkan sejumlah uang. Niatnya sederhana: menolong. Tapi hingga hari ini, uang itu belum kembali. Saya bisa maklum, mungkin karena ia memang sedang kesulitan. Di sisi lain, saya sendiri punya utang kepada seorang saudara, yang sampai sekarang belum bisa saya lunasi karena keterbatasan. Bedanya, saya bersyukur tidak punya utang berbunga---karena kalau itu terjadi, dosanya bukan sekadar melunasi angka, tapi berlipat ganda dengan dosa riba yang Allah nyatakan sebagai dosa besar yang tak terampunkan kecuali dengan taubat.

Dalam Islam, utang bukan sekadar masalah finansial, tetapi amanah yang akan ditagih di dunia dan di akhirat. Rasulullah bersabda bahwa jiwa seorang mukmin tergantung karena utangnya, sampai utang itu dilunasi. Artinya, meski seseorang rajin beribadah, pahala itu bisa berpindah tangan kepada orang yang ia hutangi jika di dunia tak mampu membayar. Dan bila pahala habis, maka dosa orang yang dihutangi akan berpindah kepadanya. Inilah "mata rantai" yang kadang luput dari kesadaran kita.

Dari Dompet Pribadi ke Dompet Negara

Jika di level pribadi saja utang begitu menekan, bagaimana dengan utang negara? Ironisnya, di sistem ekonomi kapitalis modern, utang justru dianggap mesin pembangunan. Bukan hanya negara berkembang yang berutang, negara besar pun kadang menjadi yang paling banyak utangnya. Perbedaannya, negara maju punya daya tawar dan kendali, sementara negara berkembang sering terjebak dalam posisi lemah---dan di situlah jebakan mulai terasa.

Utang luar negeri jarang datang tanpa syarat. Ada harga yang harus dibayar di luar bunga dan cicilan. Misalnya, negara pemberi pinjaman bisa mensyaratkan penerapan "reformasi" tertentu: demokratisasi, emansipasi wanita, akuntabilitas, transparansi, bahkan kebijakan sosial seperti "memerangi radikalisme" yang definisinya sering dibuat sepihak. Semua ini dibungkus dengan bahasa diplomasi yang manis, tetapi implikasinya bisa menggerus kedaulatan politik, sosial, bahkan nilai-nilai agama.

Istilah Manis, Efek Pahit

Masyarakat mungkin lebih akrab dengan istilah "utang luar negeri" dalam bentuk obligasi pemerintah, surat utang negara, atau skema pembiayaan infrastruktur. Ada pula yang terdengar keren seperti foreign direct investment (investasi asing langsung). Padahal, setiap pinjaman ini membawa risiko: bila gagal bayar, negara bukan hanya kehilangan aset strategis, tapi juga kebijakan yang seharusnya independen berubah menjadi mengikuti kemauan kreditur. Ini sama seperti seseorang yang terjerat rentenir---bedanya, skalanya negara.

Mengembalikan Prinsip

Islam mengajarkan kehati-hatian dalam berutang, baik secara pribadi maupun kolektif. Prinsipnya jelas: hindari utang kecuali sangat mendesak, dan lunasi secepat mungkin. Bahkan Rasulullah pernah menolak menyalatkan jenazah seseorang yang masih menanggung utang hingga ada yang menjamin pelunasannya. Bayangkan, jika itu berlaku di level individu, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap utang negara yang nilainya triliunan?

Solusinya, negara harus mengandalkan kekuatan ekonomi internal, memberdayakan sektor riil, memutus ketergantungan pada pinjaman berbunga, dan menjalin kerja sama internasional yang setara, bukan hubungan tuan-hamba. Di tingkat pribadi, kita mesti belajar mengelola keuangan dengan disiplin, mengutamakan kebutuhan daripada gaya hidup, dan tidak menunda pelunasan utang.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun