"Angka bisa dihitung, tetapi derita manusia hanya bisa dirasakan oleh hati yang jujur."
Angka kemiskinan turun, pertumbuhan ekonomi naik. Dua kabar ini semestinya membawa kelegaan. Tapi bagi sebagian ekonom, akademisi, dan publik yang lebih kritis, justru sebaliknya: kecurigaan meningkat, kepercayaan terguncang.
Rilis terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2025 berada di angka 8,47%, atau 23,85 juta jiwa. Ini angka terendah dalam dua dekade terakhir. Lebih membanggakan lagi, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 diklaim menyentuh angka 5,12% (yoy), di tengah tekanan global dan krisis sektor manufaktur.
Namun, di balik angka-angka yang tampak "menggembirakan" itu, muncul serangkaian pertanyaan tajam: Apakah ini realitas, atau sekadar pencitraan? Apakah ini statistik, atau strategi komunikasi?
Data yang Dipertanyakan, Risiko yang Mengancam
"Data tanpa kepercayaan hanyalah deretan angka kosong". - Ade FM
Keraguan publik terhadap validitas data BPS bukan sekadar perdebatan akademik. Dalam perspektif manajemen risiko dan tata kelola publik, krisis kepercayaan terhadap data resmi negara bisa menciptakan efek domino. Yaitu, membahayakan dalam jangka menengah hingga panjang. Berikut adalah beberapa risiko utama yang patut diwaspadai:
1. Reputational Risk: Krisis Kepercayaan pada Lembaga Resmi
Jika masyarakat, pelaku pasar, atau mitra internasional mulai meragukan integritas data BPS, maka reputasi institusi statistik nasional terancam. Kepercayaan adalah aset yang sulit dibangun namun mudah runtuh.
"Begitu publik kehilangan kepercayaan pada data, maka seluruh kebijakan berbasis data akan ikut diragukan," ujar Dr. Rani Widjaya, pakar kebijakan publik dari UI.
Reputational risk ini tak hanya membayangi BPS, tapi juga merembet ke pemerintah pusat. Terutama, karena data tersebut menjadi fondasi pidato kenegaraan dan nota keuangan Presiden menjelang 17 Agustus.