Di Balik Jabat Tangan, Ada Jerat yang Tersembunyi?
Ketika Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Amerika Serikat menandatangani kesepakatan perdagangan yang disambut meriah di media massa, sebagian dari kita mungkin merasa bangga: Indonesia dianggap penting oleh negara adidaya seperti Amerika Serikat. Namun, euforia itu tidak boleh membuat kita buta. Perjanjian dagang bukan sekadar soal ekspor dan impor. Ia menyangkut kedaulatan, keadilan ekonomi, dan arah bangsa ini ke depan. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan, dan siapa yang sesungguhnya sedang “dijual”?
Perjanjian Dagang dan Peran Kapitalisme Global
Sejarah panjang hubungan ekonomi Indonesia-Amerika selalu memperlihatkan pola yang sama: negara maju seperti AS cenderung memaksakan aturan main yang menguntungkan mereka. Dalam sistem kapitalisme global, perdagangan bebas hanyalah nama lain dari dominasi ekonomi oleh negara-negara kuat. Negara berkembang seperti Indonesia seringkali hanya menjadi pemasok bahan mentah dan pasar bagi produk jadi mereka. Apakah kesepakatan terbaru ini akan mengulang sejarah itu?
Dibungkus Manis, Disimpan Agenda Tersembunyi
Kesepakatan yang baru diteken mencakup berbagai sektor strategis—dari pertanian, energi, hingga teknologi digital. Tapi, kita patut bertanya: adakah perlindungan bagi petani lokal, UMKM, dan industri nasional? Jika Indonesia terlalu membuka pasar tanpa perlindungan yang memadai, maka bukan tidak mungkin para pemain kecil kita akan tergilas oleh perusahaan-perusahaan raksasa Amerika yang punya modal besar dan teknologi mutakhir.
Pandangan Islam: Perdagangan yang Berkeadilan
Dalam perspektif Islam, perdagangan bukan sekadar transaksi untung-rugi. Ia adalah amanah yang menuntut keadilan, kejujuran, dan saling menguntungkan (tijarah ‘an taradin). Islam menolak sistem yang menindas, termasuk yang menyuburkan ketimpangan ekonomi dan eksploitasi. Al-Qur’an mengingatkan:
“Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil” (QS Al-Baqarah: 188).
Perdagangan bebas yang sarat tekanan politik dan ekonomi, tanpa perlindungan terhadap kepentingan rakyat, jelas bertentangan dengan prinsip syariah.
Jalan Tengah: Mandiri dalam Ekonomi, Kuat dalam Politik
Indonesia tidak harus menolak kerja sama internasional. Tapi kerja sama itu harus diletakkan di atas prinsip saling menghormati dan menguntungkan. Kita butuh pemimpin yang berani menegosiasikan perjanjian-perjanjian luar negeri dengan memperhatikan maslahat rakyat, bukan sekadar mengikuti tekanan kekuatan asing.
Lebih jauh lagi, sudah saatnya Indonesia memiliki visi ekonomi alternatif. Bukan dengan terus-menerus menambal krisis lewat utang dan kesepakatan instan, tapi dengan membangun kemandirian ekonomi berbasis kekuatan dalam negeri, termasuk sektor pertanian, industri halal, dan teknologi ramah syariah.
Penutup: Dari Kesepakatan ke Kesadaran
Kesepakatan dagang Indonesia-Amerika Serikat bisa jadi peluang. Tapi tanpa kesadaran kritis, ia bisa berubah menjadi jerat. Rakyat harus waspada, intelektual harus bersuara, dan umat Islam harus kembali kepada panduan syariah dalam melihat arah kebijakan negara. Karena dalam dunia global hari ini, siapa yang tidak cerdas membaca peluang dan jebakan, akan menjadi korban dalam narasi manis bernama “kerja sama internasional”.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI