Dalam pekan ini, publik dikejutkan oleh putusan pengadilan atas Tom Lembong, Menteri Perdagangan tahun 2015-2016. Ia divonis 4,5 tahun penjara atas kebijakan impor gula yang disebut-sebut lebih berpihak pada sistem ekonomi kapitalis. Putusan ini langsung memantik kontroversi. Sebab, kalau menjalankan kebijakan beraroma kapitalis dianggap kejahatan, lalu bagaimana dengan DPR dan Pemerintah yang justru menjadi penggerak utama sistem ekonomi kapitalis di negeri ini?
Pernyataan ini bukan tanpa dasar. Tahun demi tahun, kita menyaksikan sumber daya alam dikuasai oleh segelintir orang. Menurut Menteri ATR Nusron Wahid, separuh dari 60 juta hektare lahan bersertifikat hanya dikuasai 60 keluarga. Sementara jutaan rakyat lainnya bahkan tak punya tanah sejengkal pun.
Kondisi ini bukan semata kelalaian birokrasi. Ini adalah buah dari sistem yang memang memberikan ruang sangat luas pada kepemilikan pribadi—bahkan atas kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Inilah wajah asli sistem ekonomi kapitalis.
Kapitalisme: Menguntungkan Oligarki, Mengorbankan Rakyat
Kapitalisme sebagai ideologi lahir dari pemikiran sekularisme: agama disingkirkan dari ruang publik, termasuk dari pengaturan ekonomi. Maka tak heran jika kebijakan Negara hari ini lebih banyak berpihak pada korporasi ketimbang rakyat.
UU Cipta Kerja, misalnya, lahir dari semangat melayani investor. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD pernah secara gamblang menyebut bahwa “setiap pasal di DPR ada harganya.” Ketika hukum dan kebijakan bisa dibeli, rakyat tinggal menunggu giliran untuk dikorbankan.
Lebih ironis lagi, Negara menggantungkan lebih dari 70% pendapatan dari pajak, yang mayoritas dibayar rakyat kecil. Sementara para pemilik modal kerap mendapatkan insentif, relaksasi, atau celah untuk menghindar. Negara juga terus menumpuk utang berbunga, dengan kewajiban membayar bunga utang saja mencapai Rp 500 triliun pada 2024. Ini jelas praktik riba, yang justru menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalis.
Islam Menawarkan Sistem Ekonomi Alternatif
Di tengah ketimpangan yang semakin tajam, umat Islam tidak bisa terus-menerus menjadi penonton. Islam memiliki sistem ekonomi yang tidak hanya adil, tetapi juga realistis dan telah terbukti berhasil di masa lalu. Ulama besar Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, menjabarkan sistem ekonomi Islam secara detail dan praktis.
Berbeda dari kapitalisme, tujuan utama sistem ekonomi Islam bukanlah akumulasi kekayaan, tapi distribusi kekayaan secara adil ke seluruh individu. Islam memisahkan jenis kepemilikan menjadi tiga: milik individu, milik umum (seperti air, listrik, tambang), dan milik negara. Barang milik umum haram dimiliki pribadi atau swasta, apalagi dijual kepada asing. Ia harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Islam juga tegas melarang praktik ekonomi batil seperti riba, spekulasi, monopoli, dan penimbunan. Transaksi wajib bebas dari ketidakjelasan dan harus sesuai dengan prinsip keadilan.
Yang lebih mendasar, negara dalam sistem Islam wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara adalah pelayan rakyat, bukan pelayan korporasi. Kepala negara dalam Islam disebut “ra’in”—pengurus umat—yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan warganya.
Sudah Saatnya Beralih
Melihat realitas hari ini—dari ketimpangan lahan, eksploitasi sumber daya alam, dominasi korporasi atas kebijakan publik, hingga ketergantungan pada pajak dan riba—sudah waktunya kita mengevaluasi arah perjalanan bangsa. Kapitalisme telah gagal membawa kesejahteraan yang merata. Ia hanya menguntungkan segelintir elite dan meninggalkan jurang kemiskinan bagi mayoritas.