Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sekolah Online dan Harapan di Tengah Pandemi

9 Juni 2021   06:00 Diperbarui: 9 Juni 2021   08:17 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar Online (Pexels/Julia M Cameron)

Pada awal pandemi, jujur saya sangat cemas dan takut. Bukan hanya karena virus corona, tapi mencemaskan anak-anak saya. Utamanya untuk si bungsu.

Kecemasan tersebut sudah ada sebelum pandemi. Dengan adanya pandemi, bisa terbayangkan rasa cemas dan galau yang luar biasa. Kondisi pandemi mengubah segala hal dan rencana yang sudah ada.

Mengapa saya bisa sebegitu cemasnya? Sebagai ibu, tentu saya sangat tahu tumbuh-kembang si bungsu. Terlebih saya mengasuh sendiri tanpa bantuan baby sitter. Dari sinilah semua berawal.

Tumbuh-Kembang yang Penuh Kejutan

Si bungsu (sekarang 4 tahun) sangat spesial buat kami. Bukan saja karena dia laki-laki, tapi karena banyak hal di luar prediksi kami terjadi pada tumbuh-kembangnya. Ini bukan semata karena kami membandingkan dengan kakaknya.

Bayangkan, dulu sampai umur 14 bulan belum bisa jalan. Dalam artian melangkah saja belum. Dia hanya merambat dengan pegangan. Saya sudah latih dan mencoba segala cara.

Tiap bulan, kami memang rutin membawa ke dokter anak. Semua sudah saya konsultasikan ke dokter. Rasanya pusing tujuh keliling! 

Sebagai ibu yang tidak bekerja, rasa bersalah mulai mendera. Apa yang salah dengan cara mengasuh saya? Saya sedih luar biasa.

Tapi mungkin itulah seni kehidupan yang penuh kejutan. Memasuki hari pertama dia berusia 15 bulan, saya, papa, dan kakaknya berjongkok melingkar. 

Si bungsu bersama papanya, kemudian kami bertiga bersorak menyemangati dia untuk melangkah, "Ayo.. ayo..."

Tiba-tiba dia melangkah langsung lurus tanpa terjatuh dan kemudian berhenti tanpa terjatuh pula. Setelah itu langsung berputar dan jalan kembali. Mulai detik itu, si bungsu bukan hanya bisa jalan tapi langsung lancar berjalan dengan kokoh tanpa terjatuh.

Hmmm... jika mengingatnya, saya dan suami selalu mengatakan, "Kamu ini bikin deg-degan saja!"

Terlambat Bicara

Masalah jalan teratasi, PR saya masih ada lagi, yaitu si bungsu belum bicara! Jika mengingat ini saya sangat sedih dan masih terasa betapa saya stres sekali waktu itu.

Banyak yang bilang anak laki-laki akan lambat bicaranya dibanding dengan anak perempuan. Namun, lagi-lagi naluri seorang ibu tak bisa dibohongi.

Si bungsu belum juga memanggil "mama" atau "papa". Saya berusaha sabar. Akan tetapi, rasa cemas juga menghantui. Lagi-lagi apa yang salah ya? Di rumah saya ajarkan mengeja per suku kata. Saya juga rajin ajak bicara.

Pokoknya pening, saya tidak tahu harus bagaimana. Ketika saya lakukan stimulasi, dia terlihat paham tapi tidak juga menirukan. 

Dia juga paham jika saya minta ini dan itu. Tiap kali meminta sesuatu hanya menarik tangan saya menuju ke yang dia mau.

Saya selalu perhatikan detil dari bayi, rasanya tak ada yang aneh. Dia dari bayi sudah bisa berkomunikasi dengan "cara dan bahasa"-nya. Begitu juga tatap matanya. Untuk masalah ini, saya sangat jeli dan tak mungkin terlewat. Lalu, apa yang salah?

Sekitar umur 20 bulan, saya bawa ke dokter anak spesialis tumbuh kembang. Dari konsultasi, saya tidak puas mengenai dugaan penyebabnya. 

Bayangkan, saya malah dikasih target untuk melatih 20 kata dalam sebulan. Cara yang diberikan pun sudah saya lakukan sebelumnya.

Pulang dari dokter, rasanya saya ingin menangis saja. Saya sedih, tapi saya berusaha semangat untuk diri saya. It is my life! I will fight till the end...

Sekolah Online dan Harapan di Tengah Pandemi. Gambar ilustrasi anak sekolah (Foto: pixabay/Kreatikar)
Sekolah Online dan Harapan di Tengah Pandemi. Gambar ilustrasi anak sekolah (Foto: pixabay/Kreatikar)

Mengapa saya segitu tidak santainya? Padahal banyak yang bilang apa yang terjadi pada si bungsu adalah biasa. Ya, karena saya tak ingin terlambat. Banyak kasus autisme tak tertangani karena terlambat terdeteksi. Tentu saya tak mau seperti itu.

Akhirnya saya mencari jalan lain. Saya bawa si bungsu ke tempat terapi tumbuh kembang. Saya tanyakan langsung kepada terapis, apakah menurutnya si bungsu ada "bakat" speech delay atau yang lain. Jawaban dari terapis yang sudah berpengalaman tersebut cukup melegakan.

Katanya, "Normal bu... Ini bisa berkomunikasi, mau senyum, dia juga kontak mata. Ini "belum" saja kok. Memang seharusnya sudah bisa bicara. Dia punya waktu sendiri, bu.. Sabar, yang penting terus dilatih dan diajak bicara." Hmm.. oke.

Dari situ saya kembali berusaha. TV di rumah saya matikan, papanya juga tidak lagi sibuk dengan HP sepulang kerja. Kakaknya juga mengerti kondisi adiknya. Jadi, kami bersama-sama memperhatikan si bungsu. Mengajak bicara, mengajak bernyanyi, dan bermain.

Perlahan terlihat perubahan, sekecil apapun saya syukuri. Si bungsu mulai  mengatakan "nunu" ketika ingin minum, "onak" ketika menyebut donat, dan akhirnya kata sempurna yang terucap adalah "papa" (bukan "mama" hihihi).

Saya cukup lega, berarti si bungsu "bisa bicara" meskipun kata pertama baru terucap di usia 2 tahun. Dari sini, saya terpacu untuk berusaha memberi stimulasi yang cukup untuk mengejar ketinggalan.

Satu cara yang saya pandang cukup untuk membuatnya lancar bicara adalah sekolah. Saya berpikir seperti itu karena sosialisasi dengan teman sebaya bisa menstimulasi untuk bicara, sementara sosialisasi di lingkungan rumah tak mungkin. Anak-anak tetangga sudah besar semua.

Usaha Mencari Sekolah

Pencarian sekolah untuk si bungsu saya mulai secepatnya. Saya ingin dia bersekolah meskipun usianya masih 2 tahun. Sebenarnya saya lebih menyukai anak mulai sekolah di usia 3 - 3,5 tahun di kelompok bermain. Namun, apa boleh buat mungkin ini cara supaya si bungsu menjadi mau berbicara lebih lancar.

Berbagai sekolah, saya survei bersama suami. Memang akan menjadi sebuah pemborosan karena hanya akan setahun kemudian pindah ke kelompok bermain yang berbeda sekolah.

Singkat cerita, saya dan suami akhirnya membatalkan rencana untuk sekolah ini. Alasannya, si bungsu masih sering menggigit jika kesal atau meminta sesuatu. Menggigit adalah bentuk "komunikasi"-nya.

Saya mengkhawatirkan jika dia menggigit temannya akan jadi perkara karena tidak semua orangtua akan bersikap bijak. Selain itu, saya juga tidak mau anak saya dilabel "nakal". Menurut saya terlalu dini melabel seperti itu. Tentu akan berakibat pada kepribadiannya karena bagaimanapun itu tidak menyenangkan.

Menyemai Harapan Baru

Setelah membatalkan sekolah usia dini, saya tetap berusaha melatih kemampuan bicaranya. Ada kemajuan dalam kosa kata meskipun belum banyak.

Jika tidak tahu, orang yang bertemu si bungsu juga akan merasa biasa saja. Dia pribadi yang supel dan banyak senyum. Bisa diajak bercanda dan tertawa. Artinya, dia mampu berkomunikasi. Hanya saja belum bisa merespon dengan berbicara.

Akhirnya semua sesuai rencana awal. Jadi, saya mendaftarkan untuk kelompok bermain di sekolah yang sama dengan kakaknya dulu. Semua proses berjalan lancar.

Si bungsu di ulang tahunnya yang ke-4. Sudah bisa menyanyikan lagu (Dokumentasi pribadi)
Si bungsu di ulang tahunnya yang ke-4. Sudah bisa menyanyikan lagu (Dokumentasi pribadi)
Saya mempersiapkan si bungsu supaya siap sekolah di bulan Juli. Perlahan dia mulai paham, meskipun tidak terlihat antusias dan sangat cuek.

Awal tahun 2020 adalah titik di mana saya yakin telah menyemai harapan baru. Berharap dengan sekolah, si bungsu bisa berbicara dengan lancar dan merangkai kalimat. 

Sebuah harapan sederhana karena saya tak menaruh harapan tentang calistung. Dia bisa bicara lancar dengan banyak kosa kata pun, saya sudah senang.

Sekolah Online di Masa Pandemi?

Januari-Februari 2020 mulai terdengar berita tentang virus corona. Puncaknya ketika bulan Maret, sekolah kakaknya beralih ke online. Saya sedih dan kembali galau.

Pupus sudah harapan. Sekolah online untuk kelompok bermain? Mungkinkah bisa? Anak umur 3 tahun bisakah mengikuti? Mungkinkah si bungsu mau mengikuti? Berbagai pertanyaan berseliweran di pikiran yang makin memburam.

Sekolah online adalah hal baru di mana tak ada gambaran sama sekali akan seperti apa. Dilema sekali rasanya, antara mundur untuk tidak sekolah dulu atau tetap maju mencoba sekolah online ini.

Sebuah keputusan yang tidak mudah. Seringkali rasa sedih dan putus asa datang. Harusnya menunda sekolah si bungsu? Jika tak sekolah, dia pun tak bisa bebas ke mana-mana untuk bersosialisasi.

Tak Ada yang Mustahil Bagi Tuhan

Pada akhirnya, saya dan suami memutuskan bahwa life must go on. Sesuatu jika tidak dicoba, kita tak akan tahu seperti apa.

Meskipun penuh keraguan dan segala rasa campur-aduk, si bungsu sekolah online. Saya pernah membagikan ceritanya di sini.

Video itu saya buat untuk kenangan dan juga menyemangati diri saya untuk mendampingi si bungsu. Di situ ada saya tulis, "Everything is possible with God". Sesuatu yang bukan kebetulan, tapi satu kalimat yang saya imani dengan penuh pengharapan pada waktu itu.

Di mata manusia, pandemi ini luar biasa mengubah dan mengacaukan banyak hal. Tapi iman selalu mengajarkan saya untuk selalu berpengharapan. Saya yakin meskipun sekolah di masa pandemi, Tuhan tahu kesulitan saya dan memampukan saya.

Suatu usaha pasti akan membuahkan hasil. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Semuanya mungkin. Semuanya ada harapan. Sekecil apapun pasti ada harapan. Harapan saya sederhana, yaitu si bungsu bisa lancar berbicara, bukan cuma yes or no atau tarik-tarik tangan saja.

Setahun sudah dia menjalani sekolah online di jenjang Kindergarten 1 (K-1) atau kelompok bermain. Sungguh saya terpesona dengan kebaikan dan kemurahan Tuhan lewat sekolah dan gurunya.

Semua berjalan lancar bahkan tak satu hari pun si bungsu melewatkan sekolah. Dia selalu antusias dan semangat sekolah. Hadir sebelum kelas dimulai.

Sekarang dia sudah lancar bicara. Sudah pandai merangkai kalimat. Bahkan suka bercerita apapun kepada guru atau siapapun. 

Saya lega, satu kekuatiran saya hilang berganti dengan ketenangan. Tak ada yang lebih membahagiakan dari semua ini

Berulang kali papanya mengatakan, "Nggak kebayang kalau dia nggak sekolah!" Ya, mungkin kami masih diserang kegalauan besar. Mungkin juga si bungsu tak sebahagia sekarang karena lewat sekolah dia bisa mengenal teman-temannya.

Di atas semua itu, ada sesuatu yang melebihi harapan saya. Si bungsu mampu mengikuti setiap pelajaran. Sekarang sudah bisa berhitung 1-20 dan mengenali angka-angka tersebut.

Dia juga sudah bisa mengenali huruf A-Z. Kosa katanya sangat banyak, bahkan banyak kosakata di atas umurnya. Si bungsu tumbuh dan berkembang sangat pesat dengan sekolah online.

Si bungsu saat sekolah online (Dokumentasi pribadi)
Si bungsu saat sekolah online (Dokumentasi pribadi)

Sungguh semua di luar dugaan dan melebihi harapan saya. Di tengah pandemi ini, harapan yang terus kami pupuk menjadi berkat yang sangat besar dan penuh makna. Terima kasih, ya Allah!

Artikel ini saya tulis ini bukan dengan maksud untuk membanggakan si bungsu. Akan tetapi sebagai ungkapan syukur kami. Biarlah lewat tulisan ini, saya menggores kenangan akan penyelenggaraan Ilahi dalam keluarga kami. Bahwa kebaikan dan kemurahan Tuhan selalu hadir dalam setiap musim kehidupan.

Terima kasih pembaca sekalian. Semoga kita selalu dimampukan untuk senantiasa menaruh harapan kepadaNya, bahkan di saat tak ada harapan sekalipun.


Salam hangat,

MomAbel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun