Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bumbu "Laknat"

10 Agustus 2020   00:57 Diperbarui: 13 Agustus 2020   08:02 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theconversation.com

Aku berada di sebuah bis kota. Bis ini memiliki trayek antara Metro hingga Bandar Lampung. 

Dengan fasilitas AC yang terlalu dingin bagiku. Ketika kuputar posisi saluran keluar di atas kepalaku, rasa-rasanya demam yang biasanya menerpaku bakalan kembali. 

Hari ini tepat pukul satu siang, perjalanan ini masih panjang. Udara terasa panas meskipun masih dibantu oleh AC bis yang aku tumpangi.  

Nampak beberapa penumpang ada yang memainkan ponselnya dengan game kesukaannya. Adapula yang masih terpejam dengan earphone yang menempel di telinga. 

Wajah-wajah di sana sedikit tegang lantaran kondisi yang memang mendukung.


Jalan-jalan masih ramai dengan jumlah penumpang yang terus bertambah. Sedangkan di bis yang aku tumpangi, ada beberapa penumpang yang tidak memakai masker. Padahal saat ini suasana masih mencekam karena covid-19. 

Entahlah apakah di antara mereka memang nggak percaya lagi dengan berita di televisi? Atau mereka tak mau ambil pusing, bahwa biarlah kematian ada di tangan pemilik kehidupan. 

Semakin lama dipenjara dengan ketakutan, maka antibody pun melemah. Sama seperti rasa takut yang berlebihan, terlalu protektif dengan pasangan sama bahayanya dalam sebuah pernikahan.

"Mas, sudah sampai di mana ini?" 

Seorang wanita di sebelahku bertanya. Ia tersenyum kecil, seolah-olah sudah mengenalku. 

"Jam berapa ini ya?" Tanyanya lagi terlihat gelisah.

"Ini masih di Tegineneng.  Masih jam satu seperempat mbak. Mbak mau kemana?" Tanyaku untuk menciptakan suasana akrab. Seperti orang lain, aku ingin selalu menampakkan diri sebagai orang yang ramah. Memang itu kepribadianku. Meskipun dengan orang yang tak aku kenali.

Wanita itu belum menjawab pertanyaanku.  Ia buru-buru turun di sisi jalan depan Bandara Radin Intan 2. Aku agak kecewa lantaran belum mengenal wanita tersebut. 

Biarlah, mungkin memang belum bisa kenalan. Tapi apa untungnya buatku, siapa dia aku juga tidak pernah bertemu sebelumnya. Hanya di bis inilah kami bertemu, meskipun hanya basa-basi dan ketika kutanya namanya pun aku belum mendapatkan jawabannya.

"Terminal terminal..." Kondektur mengingatkan penumpang untuk turun. 

Satu persatu para penumpang pun turun. Termasuk diriku yang sedari tadi menanti sampainya langkahku pada tujuan.

Aku lanjutkan perjalananku menuju ke terminal. Aku turun di sana dan kucoba melanjutkan perjalanan dengan menumpang mikrolet. Yah. hanyalah mikrolet yang bisa aku naiki. Jika mau numpang Grab atau Gojek saja sekarang mahal. Apalagi taksi, ongkos untuk perjalanan mungkin harus nombok. 

Tapi nggak apa-apalah, lah wong aku hanya mau jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Toko buku terbesar di wilayahku, menurutku. 

Memasuki toko tersebut saya langsung menuju lantai dua, di sana berjajar buku-buku yang banyak banget. Wanita-wanita cantik nampak memberikan senyum ramahnya. 

Mereka juga acapkali menerima beraneka pertanyaan dari para pengunjung. Entah penanya benar-benar mau membeli atau sekedar melihat-lihat saja. Ditemani musik Islami yang membuat nyaman ketika memasuki toko buku tersebut. Padahal setahu saya Gramedia bukanlah toko buku muslim, tapi mungkin agar para pengunjungnya nyaman di dalamnya. 

Entahlah aku nggak begitu peduli.

Kulihat ada buku yang menurutku menarik. Kuambil dan kubaca resensi buku yang menurutku sangat memancing keingintahuanku.

Tak terasa dalam keasyikanku sebuah tangan menepuk pundakku. Aku terkejut dan seketika kutolehkan wajahku ke arah  sosok itu. Betapa kagetnya aku, dialah wanita yang tadi berbincang-bincang denganku di dalam bis kota. Wanita sendirian yang sepertinya terburu-buru turun dari bis itu.

"Eh, Mbak. Sepertinya tadi Mbak turun di pintu masuk Bandara ya?" Tanyaku basa-basi.

"Iya, Mas. Saya juga gak kepikiran mau ke sini. Eh, ngga tahunya ketemu Mas. Makanya aku berani menegur." 

Jawabnya dengan rona wajah yang lebih akrab. Mungkin karena pernah bertemu, makanya ia nggak sungkan lagi. Meskipun aku sama sekali belum mengenalnya.

"Buku bagus, Mas. Kayaknya mas suka membeli buku-buku berbau agama ya? Kelihatan sekali masnya ramah dan akrab dengan semua orang." Sekali lagi ia ingin membangun keakraban.

"Eh, ngomong-ngomong kalau boleh tahu siapa nama Mbak?" Tanyaku ketika wanita itu tengah asyik menimang-nimang  buku di tangannya. Ia tidak membacanya namun hanya melihat covernya.

"Namaku Niken. Masnya siapa?" Tanyanya balik.

Dengan ragu aku sengaja memandang wajahnya seperti penasaran karena wanita ini begitu mudahnya bergaul. Kujawab saja, "Namaku Edi. Mbak sebenarnya mau kemana? Sepertinya agak bingung? Tadi turun di pintu masuk bandara saya kira mau terbang ke Jakarta atau menjemput seseorang."

Wanita itu menoleh padaku, sambil meletakkan buku yang ada di tangannya. Dan tangannya lagi-lagi menari menyentuh beberapa buku. walaupun hanya melihat covernya. 

"Nggak, Mas. Tadi rencananya saya mau menunggu kedatangan suamiku dari Jakarta. Dia ada pekerjaan di sana. Sayangnya ketika aku sudah sampai di bandara, suamiku nelpon bahwa ia nggak jadi pulang, karena ada kerjaan baru. Kesel sih. tapi mau gimana lagi. Suamiku memang sering membuatku kecewa. Hari ini ngomong A, eh besok lain lagi yang diomongin. Lagi pula suamiku orangnya egois. Kalau lagi marah selalu memukul wajah. Aku merasa nggak betah sama dia, Mas." Tiba-tiba sosok wanita ini curhat kehidupannya.

Mata wanita itu berkaca-kaca. Nampaklah ada kesedihan yang kini membelenggu jiwanya. Seperti apa yang ia ceritakan, aku menganggap ada sesuatu yang terjadi dengan wanita ini.

"Suami Mbak kerja di mana?" Tanyaku penasaran.

"Dia bekerja di Jakarta, katanya lagi banyak proyek di sana. Jadi sebulan sekali suamiku baru pulang, alasannya proyek gak bisa ditinggal. Tapi ketika aku tanya-tanya pekerjaannya, dia selalu marah dan meluapkan emosinya ke wajahku. Benda-benda di rumah juga sudah banyak yang hancur."

Kutarik nafas dalam-dalam. Aku hanya diam mendengarkan setiap kata yang keluar dari lisan wanita itu. Akupun ngga bisa selalu memberikan solusi atas masalah wanita ini. Nggak mau dianggap ikut campur dengan urusan orang lain.

Aku berusaha tenang dan membuatnya nyaman. Aku katakan, "Sabar mbak, mungkin ini ujian kehidupan bagi Mbak. Dan pertengkaran adalah bumbu dalam pernikahan"

 "Mas, boleh nggak minta nomor WA? Aku kepingin nanya-nanya sesuatu, siapa tahu mas bisa bantu menjawab masalahku." Pinta wanita itu.

Dia pun berlalu, dan aku bergegas ke kasir untuk membayar buku yang aku inginkan. 

 Aku beranjak pulang.

*

Dua bulan kemudian

Ponselku tiba-tiba berbunyi. Aku yang tengah asik membaca pun terusik dengan suara ponsel itu. Kuangkat dan kulihat nomor yang tidak aku kenali.

"Siapa sih? Malam-malam nelpon? Nomor nggak jelas lagi."

Ketika kuangkat, terdengar suara wanita.

"Maaf ya, siapa ini?" Tanyaku penasaran dengan sosok di belakang yang terdengar seperti terisak. 

"Aku Niken Mas, suamiku marah-marah karena aku menyimpan nomormu. Dia curiga kalau aku selingkuh. Mas tolong aku! Suamiku memukul wajahku. Aku nggak bisa melawan. Dia sangat beringas."

Terdengar suara wanita itu dalam ketakutan. Suara nampak gaduh. Aku hanya mendengarkan dengan perasaan yang kalut.

Di belakang suara wanita itu, seorang laki-laki membentak, "Hai, siapa yang kamu ajak bicara? Selingkuhanmu ya? Kamu sudah berani main-main sama laki-laki lain? Bangsat kamu ya! Tak lama suara ponsel itu berhenti, setelah beberapa saat sebelumnya terdengar suara benturan yang amat keras.

Aku yang tidak tahu menahu duduk persoalannya dengan pasti, tidak bisa berbuat banyak.  Aku panik, khawatir keselamatan mengancam jiwa wanita yang bertemu dengannya di toko buku itu.

Dalam malam sepi itu, hati dan pikiranku masih terbayang wajah Niken. Aku berharap suami Niken tidak berbuat lebih jauh. Apalagi sampai mencari posisiku. Aku berharap masalah ini selesai. Aku tak ingin menambah masalahnya dan mempersulit diriku.

Meskipun demikian, aku bukanlah pria pengecut yang membiarkan wanita tak berdaya disiksa pria yang tak bermoral, meskipun suaminya sendiri.

Kucoba-coba cari alamat yang pernah ia katakan sewaktu di toko buku itu.

Dan tepat, esoknya kudapati sebuah rumah yang mewah di dekat perempatan Sumur Bandung. Rumah itu sangat bagus, dengan pagar tinggi bercat putih. Di dalamnya ada taman dan air mancur yang terus menari. Rumah itu sungguh mewah,  seperti rumahnya seorang bejabat. 

Meskipun suami Niken bukanlah pejabat tapi ada kesan bahwa suaminya bukanlah orang yang biasa saja. Pasti penghasilannya besar. Entah proyek apa yang ia tangani. Tapi menurutku nilainya tak kecil.

Tak disangka, ketika tepat di depan gerbang rumah mewah itu, seorang wanita menyapaku dari halaman rumah. 

"Mas. Mas Edi ya? Bisa sampai sini tanya siapa?" Tanyanya sambil tersenyum penuh perhatian.

"Aku kebetulan lewat, dan aku nanya-nanya nama Mbak, eh ada yang ngasih tahu kalau di sini rumahnya. Aku langsung ke sini. Dan nggak disangka Mbak memanggil. Padahal tadi aku agak ragu, apa benar ini rumahmu."

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil Mewah memasuki halaman rumah itu. Niken panik dan buru-buru kembali ke rumah. Aku hanya mematung melihat reaksi Niken kala itu.

Seorang lelaki gagah keluar dari dalam mobil. Ia menghampiriku. 

"Hei, kamu siapa? Berani dekatin istri saya? Kamu selingkuhannya ya?" Tanyanya dengan wajah merah padam. 

Niken yang sedari tadi di depan mobil hanya bisa memandang kami berdua dengan wajah seperti mayat. 

Tak kusangka bogem mentah hampir saja mengenai wajahku. Aku menghindar dan berusaha mencegah serangannya. Berkali-kali suaminya hendak memukulku, tapi ku berusaha menghindar.

"Maaf, Salah saya apa, Om? Anda tiba-tiba berusaha memukul?" Tanyaku penasaran.

"Kamu selingkuhan istriku kan?" Tanya pria itu.

"Maaf Om. Saya tidak kenal Anda, dan saya bukan selingkuhan Istri Anda. Saya hanya kenal ketika kami sama-sama di bis kota." Aku meyakinkan pria itu untuk meredam emosinya.

"Apa pedulimu tiba-tiba kesini? Mau nemui istriku ya?" Tanyanya lagi.

"Nggak Om, maaf kalau Om tersinggung dan marah. Saya izin pulang karena saya nggak ada urusan dengan Om."

Aku pun berlalu, dan merasakan emosi yang sengaja aku pendam dalam hati. Berharap tidak ada korban.

Malamnya ponselku berdering lagi. Kulihat nomor Niken yang  kemarin malam menelponku. 

"Mas, maafkan suamiku yang bersikap kasar padamu. Sekarang aku bebas, Mas!" Nada suara Niken terdengar berbeda dari sebelumnya.

"Alhamdulillah Mbak. Semoga kehidupan mbak tentram lagi ya. Saya doakan keluarga Mbak bisa sakinah, mawwadah wa rohmah." Ucapku malam itu.

"Suamiku tewas. Ia ditembak polisi karena berusaha kabur waktu hendak ditangkap. Baru tahu kalau selama ini suamiku adalah pengedar narkoba."

"Kini aku bisa menikmati hidupku tanpa kekerasan lagi. Aku bahagia bisa aman saat ini."

Beberapa saat kemudian Niken menutup ponselnya. Dan aku hanya bisa tersenyum namun bingung, kenapa dadaku bergemuruh ketika mendengar suara Niken? Entahlah, ada rasa apa di dalamnya. 

Tamat. 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun