Oleh: Mahar Prastowo
Guruku,
aku masih anak SMP, rasanya,
masih duduk di bangku kayu yang berdecit,
masih mengayun kaki di bawah meja,
masih mencatat tiap dikte yang kau ucap,
masih merangkai sajak dengan ejaan lama,
masih menunggu tepukan kecil di bahuku
ketika aku benar menjawab soal di papan tulis.
Tapi waktu menertawakanku,
ia menepuk pundakku dengan tangan renta,
membisikkan angka-angka yang tak mau kuakui---
Tiga puluh tahun lebih.
Bahkan anakku sudah beranjak dewasa,
tetapi aku masih merasa bocah,
masih membayangkan engkau di sana,
tetap seperti dulu, tegak di depan kelas,
mengusap rambutku dengan cara yang sama,
menyebut namaku dengan suara lembut
dan teguran yang membuatku patuh.
Guruku,
aku lupa,
bahwa waktu tak hanya menuaiku,
tetapi juga menuaimu.
Aku lupa,
bahwa kau di kampung nun jauh sana,
tak lagi bersuara lantang di depan muridmurid,
mungkin suaramu kini bergetar dalam doa-doa panjang,
mungkin tanganmu yang dulu lincah menunjuk huruf
kini gemetar merapikan jilbab.
Aku lupa,
bahwa tak selamanya engkau menungguku mengingat,
tak selamanya engkau di sana seperti dulu,
dan aku menyesal,
karena selama ini aku sibuk merangkai kata
untuk dunia yang hiruk-pikuk,
tapi lupa merangkai satu pesan sederhana,
"Bu, bagaimana kabarmu?"
Kini, aku berbisik dalam doa,
semoga kau selalu dalam penjagaan-Nya,
semoga keikhlasanmu dulu
mengantarkanku ke jalan yang benar,
semoga meski aku terlambat mengingat,
namaku masih terukir di hatimu
sebagaimana namamu
tetap abadi dalam ingatanku.
Jakarta, 18 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI