Mohon tunggu...
Mafalul Mukhollaqi
Mafalul Mukhollaqi Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pemimpi

Penikmat Dialektika Sastra Dalam Indah dan Sangarnya Sebuah Narasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presidential Threshold dan Relevansinya terhadap Pembatasan dan Pemaksaan Hak Politik Warga Negara

19 November 2020   01:38 Diperbarui: 19 November 2020   01:56 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya ambang batas 20% dirubah menjadi 0%, artinya setiap partai politik berhak atas pencalonan kader-kader/putra-putri terbaik bangsa ini untuk bisa menjadi seorang pemimpin di negeri ini tanpa adanya batas minimal perolehan suara partai. 

Alasan yang kemudian mendasari bahwa ambang batas harus dirubah 0% adalah bahwa ambang batas 20% itu bisa dikatakan sebagai sebuah “PEMBATASAN DAN PEMAKSAAN HAK POLITIK” warga negara. Konteks tersebut bisa dilihat dari sudut pandang dengan logika seperti ini, ada 9 partai yang lolos parlemen di pemilu sebelumnya, diantarannya partai A,B,C,D,E,F,G,H,I. partai A berhasil memiliki perolehan suara tertinggi di pemilu sebelumnya dengan akumulasi sebanyak 20%. Dan sisanya masing-masing hanya memperoleh suara dibawah 20%. 

Jika menelisik pada aturan Presidential Threshold maka yang katakanlah boleh untuk mengusung calon Presiden hanyalah partai A. dan partai B-I harus berkoalisi (Menggabungkan Diri) agar bisa mengakumulasikan suara menjadi 20% dan bisa mencalonkan sosok Presiden. Di sinilah yang kemudian banyak menuai kritik karena terkesan partai-partai yang tak memperoleh suara mencapai ambang batas itu terpaksa harus bergabung dengan partai-partai lain untuk bisa mencalonkan Presiden. 

Namun tentunya karena paksaan tersebut jelas memberikan arah yang berbeda karena belum tentu partai yang tak memenuhi itu bergabung dalam satu calon dengan visi partai yang berbeda-beda tetapi akibat desakan untuk mempertahankan popularitas partai mau tidak mau hal tersebut harus dilakukan. Dan model berbahaya lagi bagi keberlansungan demokrasi adalah apabila partai yang tak mampu memenuhi ambang batas ini memilih bergabung ke partai A agar istilanya “Mencari Aman”. 

Dengan tingginya elektabilitas calon yang diusung partai A membuat partai lain mau tidak mau harus ambil positioning politik untuk bergabung ke partai penguasa suara. Dan dengan itu sehingga rakyat tidak punya banyak pilihan dalam hal memilih, artinya selama ambang batas masih diberlakukan maka calon Presiden di Indonesia tak akan pernah lebih dari kira-kira 3 calon. Dengan ini bisa saja ada ketergantungan partai politik dengan partai yang memiliki suara besar. 

Di sisi lain partai yang mempunyai suara kecil tidak punya kesempatan untuk mengusung calon Presiden. Dan partai dengan suara besar akan sangat mendominasi dalam pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan ambang batas ini sangat menguntungkan bagi partai-partai yang memiliki suara besar. Dengan kata lain menghalangi hadirnya kandidat baru karena terhalang aturan atau bahkan ambang batas ini malah menguatkan partai besar atau Presiden itu sendiri, bukan Presidensialismenya.

Alasan lain yang kemudian didengungkan bahwa Presidential Threshold ini adalah cara terbaik agar bisa memperoleh calon Presiden yang sangat berkualitas harusnya dibantah dengan sebuah pertanyaan retorika “Apakah ada jaminan bahwa calon yang diusung oleh partai A itu memiliki kualitas yang terbaik di negeri ini? Apakah memang partai-partai kecil lain tidak layak dan dianggap tak memiliki kader yang lebih baik dari kader partai yang diusung oleh partai A? 

Lantas bagaimana hak politik mereka untuk dipilih? Apa benar-benar taka da ruang dan kader partai politik kecil hanya ditakdirkan untuk memilih bukan dipilih sebagai Presiden? Harus dipaksa ikut atau terpaksa ikut? Bukankah setiap warga negara memiliki hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih? 

Apakah benar demi negara ini maju maka calon Presiden harus dari partai yang memperoleh 20% suara nasional dan mengorbankan suara rakyat lain dalam konteks partai kecil yang mungkin memiliki kualitas kader yang lebih bagus? Jangan-jangan ambang batas hanya digunakan untuk mempertahankan singgahsana peta sang penguasa negeri ini. 

Ini pertanyaan-pertanyaan yang tentunya harus dikaji dan dipertimbangkan lebih dalam lagi agar Presidential Threshold itu benar-benar 0%. Karena sejatinya, sekali lagi bahwa tak ada jaminan dan tak ada pula hubungannya antara kualitas calon Presiden dengan partai yang berhak mencalonkan (yang memperoleh 20% suara nasional).

0% dan “Peng-Halal-an” Jalur Capres Independent, Perlukah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun