Mohon tunggu...
Mafalul Mukhollaqi
Mafalul Mukhollaqi Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pemimpi

Penikmat Dialektika Sastra Dalam Indah dan Sangarnya Sebuah Narasi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presidential Threshold dan Relevansinya terhadap Pembatasan dan Pemaksaan Hak Politik Warga Negara

19 November 2020   01:38 Diperbarui: 19 November 2020   01:56 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Realitas Presidential Threshold 

Presidential Threshold merupakan ambang batas perolehan kursi dan suara minimal partai politik atau gabungan partai politik dalam pemilihan umum legislatif yang mana agar dapat mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. 

Presidential Threshold sendiri sebagai tambahan terhadap pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden seperti yang tertuang dalam pasal 6A ayat (2) UUD 1945 disitu dijelakan bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu”.  

Dengan ini dapat dipahami bahwa semua partai politik peserta pemilu diberikan ruang untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden. Karena partai politik disini merupakan pilar demokrasi sebagai penghubung antara warga dengan pemerintahan negara. 

Tetapi pemilihan Presiden di Indonesia tidak semudah untuk memilih siapa calon yang didukung dalam kotak suara saja, sebab ada proses-proses yang harus dilewati sesuai dengan prosedur yang diatur oleh undang-undang. Katakanlah UU No 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang mana salah satunya mengatur mengenai Presidential Threshold atau ambang batas syarat calon Presiden. Yang saat ini ambang batas pencalonan Presiden adalah 20% suara sah nasional atau disetarakan dengan 25% perolehan kursi parlemen.

Munculnya Dilema Politik


Adanya Presidential Threshold sendiri banyak menuai pro dan kontra. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa kalangan yang melakukan permohonan untuk Uji materi ke Mahkamah Konstitusi. 

Ada dua dimensi yang kemudian memberikan gambaran bahwa Presidential Threshold ini menjadi sebuah fenomena dilema politik. Di satu sisi, adanya syarat ambang batas pencalonan seperti ini goalnya adalah agar negeri ini mampu menyaring calon pemimpin yang layak dan kompeten untuk memimpin negara ini. Artinya disini tidak sembarangan orang yang layak menjadi Presiden. 

Tetapi di sisi lain banyak dari kemudian masyarakat dan pengamat politik mengatakan bahwa Presidential Threshold hanya dapat menguntungkan beberapa kelompok elit saja. Karean basis penguasa tatanan politik dinegara ini jelas arahnya hanya kepada partai-partai yang memiliki basis yang besar dan mengakar keseluruh penjuru negeri ini, yang tentunya tidak juga ada jaminan bahwa calon Presiden yang berasal dari partai tersebut itu memiliki kualitas dan kapabilitas yang baik.

Benarkah Mengorbankan Hak Politik Warga Negara Demi Kemajuan Bangsa? Atau Jangan-jangan Ini Adalah Bentuk Strategi Untuk Melanggengkan Sebuah Rezim Demokrasi dari Partai Penguasa dan Kroni-kroninya?

Hak politik setiap warga negara seharusnya bisa dijunjung tinggi. Dalam kaitanya dengan konteks Presidential Threshold sebagai syarat inti agar partai politik bisa mencalonkan putra/putri yang dianggapnya “terbaik” dibangsa ini. 

Seharusnya ambang batas 20% dirubah menjadi 0%, artinya setiap partai politik berhak atas pencalonan kader-kader/putra-putri terbaik bangsa ini untuk bisa menjadi seorang pemimpin di negeri ini tanpa adanya batas minimal perolehan suara partai. 

Alasan yang kemudian mendasari bahwa ambang batas harus dirubah 0% adalah bahwa ambang batas 20% itu bisa dikatakan sebagai sebuah “PEMBATASAN DAN PEMAKSAAN HAK POLITIK” warga negara. Konteks tersebut bisa dilihat dari sudut pandang dengan logika seperti ini, ada 9 partai yang lolos parlemen di pemilu sebelumnya, diantarannya partai A,B,C,D,E,F,G,H,I. partai A berhasil memiliki perolehan suara tertinggi di pemilu sebelumnya dengan akumulasi sebanyak 20%. Dan sisanya masing-masing hanya memperoleh suara dibawah 20%. 

Jika menelisik pada aturan Presidential Threshold maka yang katakanlah boleh untuk mengusung calon Presiden hanyalah partai A. dan partai B-I harus berkoalisi (Menggabungkan Diri) agar bisa mengakumulasikan suara menjadi 20% dan bisa mencalonkan sosok Presiden. Di sinilah yang kemudian banyak menuai kritik karena terkesan partai-partai yang tak memperoleh suara mencapai ambang batas itu terpaksa harus bergabung dengan partai-partai lain untuk bisa mencalonkan Presiden. 

Namun tentunya karena paksaan tersebut jelas memberikan arah yang berbeda karena belum tentu partai yang tak memenuhi itu bergabung dalam satu calon dengan visi partai yang berbeda-beda tetapi akibat desakan untuk mempertahankan popularitas partai mau tidak mau hal tersebut harus dilakukan. Dan model berbahaya lagi bagi keberlansungan demokrasi adalah apabila partai yang tak mampu memenuhi ambang batas ini memilih bergabung ke partai A agar istilanya “Mencari Aman”. 

Dengan tingginya elektabilitas calon yang diusung partai A membuat partai lain mau tidak mau harus ambil positioning politik untuk bergabung ke partai penguasa suara. Dan dengan itu sehingga rakyat tidak punya banyak pilihan dalam hal memilih, artinya selama ambang batas masih diberlakukan maka calon Presiden di Indonesia tak akan pernah lebih dari kira-kira 3 calon. Dengan ini bisa saja ada ketergantungan partai politik dengan partai yang memiliki suara besar. 

Di sisi lain partai yang mempunyai suara kecil tidak punya kesempatan untuk mengusung calon Presiden. Dan partai dengan suara besar akan sangat mendominasi dalam pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan ambang batas ini sangat menguntungkan bagi partai-partai yang memiliki suara besar. Dengan kata lain menghalangi hadirnya kandidat baru karena terhalang aturan atau bahkan ambang batas ini malah menguatkan partai besar atau Presiden itu sendiri, bukan Presidensialismenya.

Alasan lain yang kemudian didengungkan bahwa Presidential Threshold ini adalah cara terbaik agar bisa memperoleh calon Presiden yang sangat berkualitas harusnya dibantah dengan sebuah pertanyaan retorika “Apakah ada jaminan bahwa calon yang diusung oleh partai A itu memiliki kualitas yang terbaik di negeri ini? Apakah memang partai-partai kecil lain tidak layak dan dianggap tak memiliki kader yang lebih baik dari kader partai yang diusung oleh partai A? 

Lantas bagaimana hak politik mereka untuk dipilih? Apa benar-benar taka da ruang dan kader partai politik kecil hanya ditakdirkan untuk memilih bukan dipilih sebagai Presiden? Harus dipaksa ikut atau terpaksa ikut? Bukankah setiap warga negara memiliki hak politik yang sama untuk memilih dan dipilih? 

Apakah benar demi negara ini maju maka calon Presiden harus dari partai yang memperoleh 20% suara nasional dan mengorbankan suara rakyat lain dalam konteks partai kecil yang mungkin memiliki kualitas kader yang lebih bagus? Jangan-jangan ambang batas hanya digunakan untuk mempertahankan singgahsana peta sang penguasa negeri ini. 

Ini pertanyaan-pertanyaan yang tentunya harus dikaji dan dipertimbangkan lebih dalam lagi agar Presidential Threshold itu benar-benar 0%. Karena sejatinya, sekali lagi bahwa tak ada jaminan dan tak ada pula hubungannya antara kualitas calon Presiden dengan partai yang berhak mencalonkan (yang memperoleh 20% suara nasional).

0% dan “Peng-Halal-an” Jalur Capres Independent, Perlukah?

Jika berkaca pada studi kasus dalam konteks Pilkada saja jalur calon kepala daerah melalui independent itu bisa, mengapa dalam ranah calon Presiden tidak bisa? Jika alasannya adalah agar memperoleh kualitas pemimpin yang baik, karena ini konteksnya adalah mengurusi negara yang langsung berhubungan dengan dunia Internasional, maka sampai kapan negara tak pernah percaya dengan kualitas rakyatnya?, apakah ada jaminan bahwa calon dari partai lebih baik dari calon dari non-partai? 

Pertanyaan lain yang kemudian bersinggungan dengan hak politik adalah, Apakah petani tak boleh jadi calon Presiden? Artis tak boleh jadi calon Presiden? Nelayan tak boleh jadi calon Presiden? Buruh tak boleh jadi calon Presiden? Apakah Presiden harus dari partai politik? Kemana hak politik kita untuk dipilih sebagai mahasiswa, apakah mahasiswa tak boleh jadi calon Presiden?

Bagi Kami jauh lebih baik Presidential Threshold 0% serta jalur independent juga diperbolehkan. Karena ini menyangkut hak politik untuk dipilih dan agar selamanya petani tidak hanya punyak hak politik untuk memilih saja. Karena diera Demokrasi Elektoral saat ini masyarakat juga sudah semakin cerdas, artinya disini adalah bahwa lebih baik ada 5-10 capres, toh nantinya rakyatlah yang akan memilih dan pasti akan terbukti mana sosok calon yang kemudian benar-benar memiliki kualitas dan mana yang hanya sekedar mencari identitas. 

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada partai politik dan aktor-aktornya, Masih banyak orang-orang hebat, cerdas, pintar, negarawan, dan tentunya jujur yang sama sekali tak berafiliasi dengan partai politik. Negara ini negara demokrasi, semua elemen masyarakat berhak jadi pemimpin, dari unsur apapun itu. Dan sudah pada haknya bahwa partai politik harusnya bukan menjadi satu-satunya kendaraan politik untuk menjadi seorang presiden.

Maka kembali saya tegaskan bahwa Presidential Threshold itu membatasi hak politik warga negara. Jangan dengan alasan demi mencetak pemimpin yang berkualitas maka harus ada ambang batas, karena tak ada jaminan jika calon dari partai yang memenuhi itu berkualitas. Masih banyak kader-kader dari partai kecil yang memiliki kualitas yang kiranya jauh lebih baik. 

Begitupula dari kalangan professional, masih banyak mereka yang kemampuan dan kualitas kepemimpinannya jauh lebih baik dibandingkan dengan calon figur yang berasal dari partai politik. 

Maka dari itu Presidential Threshold harus 0% serta dibukanya jalur Independent adalah solusi terbaik agar demokrasi kita berjalan sesuai maknanya, dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat secara merata punya hak politik untuk memilih dan juga dipilih sebagai calon Presiden. MANUSIA INDONESIA HEBAT ! MERDEKA ! INDONESIA MAJU !

Penulis             : Ahmad Rifa’i Alwi & Maf’alul Mukhollaqi
Editor                : Maf’alul Mukhollaqi
Instagram       : @reval11_ & @alul_lul51

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun