Saya dan suami sudah menikah hampir 12 tahun. Alhamdulillah, sampai hari ini rumah tangga kami masih berdiri tegak meski kadang goyang sedikit pas Shopee flash sale tengah malam atau Tokopedia WIB.
Suami saya seorang engineer di salah satu perusahaan telekomunikasi, pekerjaan yang cukup mapan dan stabil. Saya sendiri seorang ibu rumah tangga yang nyambi jadi penulis lepas. Kadang jadi editor, kadang nulis buku anak, kadang nulis artikel seperti ini sambil ngopi di rumah, ditemani suara anak-anak rebutan mainan.
Banyak orang bilang, “Enak ya, gaji suamimu aman tiap bulan, nggak usah pusing.” Well, di atas kertas memang begitu. Tapi kenyataannya? Kalau saya jujur-jujuran, arus kas rumah tangga itu bisa bohong, meskipun gaji tetap masuk dengan sopan tiap akhir bulan.
Apa itu arus kas dan kenapa bisa bohong?
Arus kas (cash flow) keluarga sederhananya adalah aliran uang masuk dan keluar dari keuangan rumah tangga. Bahasa kasarnya, duit masuk dari mana aja, dan larinya ke mana aja. Nah, kebanyakan dari kita, terutama yang merasa pemasukan aman, suka menyepelekan arus kas ini. Karena ngerasa “duit ada,” jadi belanja pun jalan terus.
Masalahnya, yang sering terjadi bukan kekurangan uang, tapi kebocoran uang. Uang keluar diam-diam dalam bentuk kecil tapi rajin. Contohnya:
- Beli kopi 20 ribuan
- Jajan anak di minimarket yang katanya “cuma 15 ribu”
- Langganan platform nonton dan musik yang dobel-dobel, cuma karena beda platform beda film or series kesukaan.
- Parkir, ojek online, dan saudara-saudaranya.
Dalam sebulan, jumlah kecil itu bisa beranak pinak jadi lubang besar. Jadi, meskipun gaji aman, saldo akhir bulan tetap aja nyesek.
Pengalaman pribadi, dompet BOCOR!
Saya pernah mengalami satu bulan yang secara teknis “normal.” Gaji suami masuk, saya juga dapat beberapa fee menulis. Tapi entah kenapa, tanggal 20 ke atas mulai terasa ngos-ngosan. Akhir bulan? Sisa tabungan cuma cukup buat beli ayam goreng dan pulsa paket darurat.
Saya lalu duduk dan nulis semua pengeluaran bulan itu. Ternyata eh ternyata, kami habis Rp1,2 juta hanya untuk “belanja random.” Beli kopi, Go-Food, beli martabak tengah malam depan komplek, beli mainan abang-abang gerobak yang lewat depan rumah, beli alat gambar anak yang over budget, dan sebagainya,
Astaga, itu belum termasuk jajanan harian mereka. FYI, ini di luar anggaran untuk jalan-jalan weekend yang sudah ada anggaran per bulannya. Padahal kami ngerasa nggak boros, tapi itulah bahayanya arus kas yang nggak dikontrol. Diam-diam bikin kita miskin di akhir bulan.
Kenapa banyak keluarga terjebak?
Mengatur keuangan keluarga itu bukan sekadar soal besar kecilnya gaji. Tapi banyak keluarga, termasuk saya di masa awal menikah, secara tidak sadar terjebak dalam pola pikir yang menyesatkan.
Kita merasa aman karena pemasukan lancar, tapi lupa bahwa arus kas yang sehat jauh lebih penting daripada jumlah uang di rekening. Berikut ini beberapa penyebab kenapa banyak rumah tangga tampak "baik-baik saja," padahal sebenarnya sedang bocor di dalam.
1. Fokus ke pemasukan, lupa pengeluaran.
“Gaji suami udah cukup kok,” adalah kalimat yang sering saya dengar, dan jujur, dulu saya juga sering bilang begitu. Tapi kenyataannya, banyak dari kita hanya melihat angka masuk, tanpa pernah benar-benar melihat aliran keluarnya.
Kita pikir semua baik-baik saja karena pemasukan tetap, padahal detail pengeluaran nggak pernah dicatat. Akhirnya, uang seperti menguap. Kita tahu uang masuk, tapi nggak tahu ke mana perginya.
Padahal, arus kas adalah napas dari keuangan keluarga. Kalau keluar lebih banyak dari masuk, bahkan gaji puluhan juta pun bisa bikin stres menjelang akhir bulan.
2. Asumsi "selama bisa bayar berarti aman"
Ini jebakan klasik. Kita merasa "aman" selama masih bisa bayar listrik, cicilan, uang sekolah, dan belanja bulanan. Sayangnya, asumsi ini sering membuat kita lupa menabung.
Banyak keluarga yang sebenarnya tidak punya dana darurat, tidak menyiapkan tabungan pendidikan anak, dan tidak punya investasi jangka panjang. Semua uang habis di pengeluaran rutin, tanpa sisa.
Ironisnya, saat kondisi darurat datang, misalnya anak sakit, suami kena PHK, kendaraan rusak, kita baru sadar, ternyata kita nggak benar-benar aman. Kita cuma terlihat aman.
3. Gaya hidup naik, kontrol tidak ada.
Gaji naik itu menyenangkan, tapi seringnya, pengeluaran juga naik tanpa terasa. Mulai dari langganan streaming tambahan, upgrade HP atau laptop, makin sering makan di luar, atau pengeluaran impulsif lainnya.
Gaya hidup kita berkembang, tapi pengelolaan tidak. Kita nggak menyesuaikan strategi budgeting, nggak nambah tabungan, dan tetap tanpa rencana keuangan.
Akhirnya, meski gaji bertambah, kita tetap ngos-ngosan. Bahkan kadang lebih stres, karena beban gaya hidup makin tinggi. Kita lupa bahwa kesejahteraan bukan soal banyaknya uang, tapi kendali atas uang.
4. Istri nggak tahu detail
Ini poin yang sering jadi akar miskomunikasi. Kadang suami punya sistem sendiri, baik itu pengaturan rekening, cicilan, asuransi, tapi istrnya nggak diajak diskusi. Istri jadi nggak tahu total pengeluaran, nggak tahu mana yang prioritas, dan akhirnya bikin keputusan belanja berdasarkan “kira-kira."
Begitu juga sebaliknya. Kadang istri punya pengeluaran sendiri (belanja dapur, uang sekolah anak, jajan kecil), tapi nggak pernah dilaporkan ke suami. Uangnya ada, tapi koordinasi nggak jalan. Jadilah pengeluaran berjalan masing-masing, tanpa sinkronisasi.
Padahal, dalam keluarga, keuangan adalah tanggung jawab bersama. Transparansi dan komunikasi itu penting. Bahkan kalau yang satu lebih banyak ngurus uang, yang satu lagi tetap harus tahu kondisi dasarnya.
Tips mengatur arus kas keluarga biar nggak pusing
Sebagai ibu rumah tangga sekaligus penulis lepas, saya sering merasa seperti bendahara tanpa seragam. Harus cermat, sabar, tapi tetap fleksibel. Setelah dahulu beberapa kali merasa keuangan rumah tangga kami "berjalan tapi bocor halus," akhirnya saya dan suami sepakat mencoba mengatur arus kas dengan cara yang lebih realistis.
Inilah lima cara yang cukup ampuh dan bisa kamu coba juga!
1. Catat semua pengeluaran selama sebulan
Iya, semua. Bahkan parkir motor Rp2.000 atau mobil Rp5.000, gorengan Rp2.500, sampai uang receh buat jajanan anak-anak. Awalnya terasa ribet. Tapi setelah komitmen 30 hari, hasilnya bikin kaget, dalam arti positif dan negatif.
Kalau nggak bisa pakai aplikasi khusus di HP, silakan pakai cara saya yang cuma modal notes, lalu bagi dalam beberapa kategori: kebutuhan pokok, transportasi, jajan, hiburan, cicilan (kalau ada), dan lain-lain. Ternyata, pengeluaran "receh" per hari bisa menghabiskan hampir Rp1 juta sebulan kalau tidak dikendalikan. Momen sadar seperti ini penting untuk tahu di mana sebenarnya uang sering "bocor."
2. Pisahkan rekening operasional dan tabungan
Langkah sederhana ini punya dampak besar. Gaji bulanan masuk ke rekening A (utama), lalu kami langsung transfer sekitar 20-30% ke rekening B (khusus tabungan, dana darurat, dan simpanan masa depan). Rekening B ini sebaiknya tidak ada kartu ATM dan tidak bisa diakses sembarangan.
Tujuannya supaya uang “penting” tidak ikut tergoda untuk hal-hal impulsif. Jadi, yang tersisa di rekening utama benar-benar hanya untuk keperluan hidup bulanan, mulai dari belanja, listrik, sekolah anak, dan sebagainya.
Saya juga pakai satu rekening e-wallet kecil untuk jajan online, jadi bisa tahu seberapa banyak “kebocoran lucu” yang terjadi per bulan. Ternyata sangat membantu loh!
3. Buat budget mingguan, bukan cuma bulanan.
Ini life hack buat yang suka kalap banget di awal bulan. Daripada langsung mengatur uang untuk 30 hari, kita bisa membaginya per minggu. Misalnya, dari budget belanja bulanan Rp2 juta, kita bagi empat: Rp500 ribu per minggu. Kalau minggu pertama lebih hemat, sisanya bisa masuk minggu kedua atau disimpan.
Strategi ini bikin kita lebih sadar dan disiplin. Rasanya seperti lagi main game keuangan mingguan yang lebih mudah dikelola, lebih terukur, dan nggak bikin panik di tanggal tua.
4. Tetapkan uang jajan suami dan istri
Saya dan suami punya “uang jajan” masing-masing loh. Jumlahnya tidak harus besar, tapi ini penting banget untuk menjaga kemandirian dan menghormati privasi finansial satu sama lain.
Dari uang itu saya bisa langganan aplikasi YouTube Premium dan aplikasi nonton online, beli skincare, atau minuman kesukaan, tanpa harus merasa bersalah. Suami pun bebas membeli barang teknis kesukaannya tanpa merasa dikritik. Ini mencegah banyak debat kecil dan tetap menjaga “kesehatan mental” keuangan rumah tangga.
5. Review bareng suami tiap akhir pekan
Setiap akhir pekan, suami dan istri punya sesi singkat 15–20 menit untuk cek pengeluaran minggu itu. Bukan untuk saling menghakimi ya, tapi untuk evaluasi santai. Ajak suami or istri sambil minum teh, sambil ngelawak juga.
Obrolan seperti, “Kok jajannya banyak banget minggu ini ya?” atau “Ternyata kita bisa hemat 100 ribu karena masak di rumah terus,” jadi ajang refleksi sekaligus bonding.
Intinya yang penting komunikasi tetap jalan. Karena arus kas bukan cuma soal angka, tapi soal saling memahami kebiasaan, keinginan, dan cara kita hidup.
Kelima cara ini bukan rumus mutlak, tapi bisa disesuaikan dengan ritme dan gaya hidup tiap keluarga. Kita sadar ke mana uang pergi, bukan cuma puas karena gaji datang.
Sekarang udah paham kan? Arus kas itu seperti cermin yang jujur banget. Ia mencatat semua pilihan kita, apa yang kita anggap penting, bagaimana kita mengelola emosi saat pegang uang, dan seberapa bijak kita memprioritaskan.
Dan satu hal yang saya pelajari, gaji yang aman bukan jaminan keuangan sehat. Kita harus sadar ke mana uang pergi, bukan hanya darimana uang datang. Karena kalau arus kasnya sehat, kita bisa hidup lebih tenang, nggak stres di akhir bulan, dan tetap bisa jajan dengan senyum penuh perhitungan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI