Selingkuh itu tidak selalu tentang nafsu. Kadang itu tentang luka, ketidakdewasaan, atau ketidaktahuan cara memperbaiki hubungan yang mulai rusak. Tapi benarkah selingkuh itu penyakit yang tidak bisa diobati?
Belakangan ini kita sering melihat berita tentang perselingkuhan. Mulai dari pejabat publik, selebriti, bahkan CEO perusahaan besar yang selingkuh dengan kepala HRD saat nonton konser Coldplay. Kasus-kasus seperti ini viral, diperbincangkan, dicaci, lalu... hilang begitu saja dari media sosial, tapi tidak pernah hilang dari kehidupan nyata. Relate kan?
Sebagai seorang anak yang tumbuh di keluarga dengan pengalaman seperti ini, saya tahu perselingkuhan itu nyata. Saya anak broken home, dan ayah saya pernah melakukannya saat saya masih kecil. Tapi saya juga tahu, tidak semua perselingkuhan harus diakhiri dengan perceraian. Ada yang bisa sembuh. Ada yang bisa diperbaiki.
Saya ingin menulis ini bukan untuk membenarkan perselingkuhan ya, tapi untuk mengajak kita melihatnya secara lebih jernih. Karena hidup tidak selalu hitam putih. Kadang kita harus belajar membedakan, mana luka yang bisa diobati, mana yang memang harus diamputasi.
Selingkuh dan Luka Psikologis
Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Social and Personal Relationships (Levine et al., 2018), sekitar 20-25% pasangan menikah pernah mengalami perselingkuhan setidaknya sekali dalam hidup mereka.
Angka ini mungkin lebih tinggi dalam hubungan non-pernikahan. Artinya, perselingkuhan itu bukan kejadian langka. Ia adalah fenomena sosial yang terjadi di banyak tempat, di banyak level sosial.
Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak semua hubungan yang diselingkuhi berakhir dengan perceraian. Dalam studi lain oleh University of Denver, sekitar 53% pasangan yang mengalami perselingkuhan tetap memilih bertahan dan melanjutkan hubungan mereka, meskipun dengan berbagai dinamika baru.
Kenapa ada yang bertahan?
Karena manusia, pada dasarnya, bisa belajar memaafkan. Karena cinta, kadang, bukan soal siapa yang salah dan siapa yang benar. Tapi soal siapa yang mau terus memperbaiki.
Pengalaman Pribadi
Saya tahu ini dari pengalaman pribadi. Saya adalah anak yang tumbuh dalam keluarga di mana ayah saya pernah berselingkuh saat saya masih berusia 4 tahun. Saya tahu rasanya jadi anak sulung sekaligus saksi hidup dari rumah yang nyaris retak.
Tapi saya juga menyaksikan bagaimana ibu saya memilih jalan yang berat: memaafkan. Bukan memaafkan secara naif, tapi dengan proses yang panjang. Bertahun-tahun sampai akhirnya saya bisa bertanya langsung pada beliau, bagaimana bisa beliau memaafkan ayah? Ternyata, ibu pun melalui proses yang penuh air mata, penuh pembelajaran, penuh komunikasi ulang yang melelahkan.