Dalam Madilog, ia menekankan bahwa materialisme adalah fondasi bagi kebangkitan akal sehat dan logika berpikir masyarakat yang selama ini tersandera oleh mitos, agama formalistik, dan feodalisme[10]. Ia mengkritik kecenderungan masyarakat Indonesia yang menerima takdir tanpa analisis sebab-akibat material. Bagi Tan Malaka, revolusi tidak mungkin berhasil tanpa terlebih dahulu mengganti cara berpikir mistik dengan logika materialistik.
Â
2.2 Dialektika: Gerak Realitas yang Berkesinambungan
Â
Dialektika, sebagaimana dikembangkan oleh Hegel dan kemudian dimaterialkan oleh Marx dan Engels, melihat kenyataan sebagai sesuatu yang selalu bergerak dan berubah melalui kontradiksi internal. Tan Malaka mengadopsi pandangan ini secara kreatif, menyesuaikannya dengan konteks bangsa jajahan. Ia menolak pendekatan mekanistik yang memisahkan subjek dan objek, sebab bagi Tan Malaka, pemikiran dan tindakan adalah satu kesatuan dalam perjuangan[11].
 Dalam Madilog, ia menulis bahwa perubahan sosial di Indonesia tidak bisa dipahami sebagai proses linier, tetapi sebagai dialektika antara kekuatan kolonial, elit feodal, dan massa rakyat yang sadar atau belum sadar[^4]. Inilah sebabnya ia menganggap bahwa pendidikan logika kepada massa adalah bagian vital dari perjuangan revolusioner.
 2.3 Logika sebagai Alat Pembebasan
Â
Logika dalam pemikiran Tan Malaka tidak berdiri sendiri sebagai ilmu abstrak, melainkan sebagai senjata berpikir dalam pertarungan ideologis. Ia melihat logika sebagai alat untuk membongkar kebohongan kolonial, membedah struktur kekuasaan, serta membebaskan rakyat dari ilusi dan tipu daya elit penguasa.
Dengan logika, rakyat dapat membedakan antara ilusi kemerdekaan dan substansi kemerdekaan, antara perbaikan semu dan perubahan struktural. Tan Malaka menyatakan bahwa "revolusi yang tidak berdasar logika akan jatuh pada emosi buta dan akhirnya menjadi reaksioner."[12]
Â