Mohon tunggu...
luthfi hafizh rizqullah
luthfi hafizh rizqullah Mohon Tunggu... pemuda

Perkenalkan, aku adalah penyair yang terbuang — tumbuh dari luka-luka yang lebih dalam dari parut nadi. Tulisanku bukanlah bait cinta yang lembut bersahaja, ia berdetak dalam irama yang keras menggemakan sumpah. Ini bukan sekadar puisi, bukan narasi romansa, namun mantra yang lahir dari kumpulan derita. Dalam tinta hitam, aku melakar saksi kesakitan, namun berhati-hatilah pada mereka yang berdusta, sebab puisiku akan berubah menjadi celaka. Perkenalkan, aku adalah penyair yang tak dirindu. Dari duka aku menempa cinta yang pilu. Dalam tiap baitku, tersimpan dendam, doa, dan arah — di sanalah letak magis tulisanku yang liar dan megah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Setelah Membaca Kafka

26 Juli 2025   17:06 Diperbarui: 26 Juli 2025   17:06 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setelah membaca Kafka, aku takut bila tiba-tiba di pagi hari aku bangun & berubah menjadi seekor kecoa seperti Gregor Samsa. Buku mengubah orang-orang, termasuk mengubah pola tidur dan cara jatuh cinta. Sejak saat itu aku susah tidur dan kuhabiskan buku-buku Freud untuk membantuku menafsirkan ulang bahwa seekor kecoa ini hanyalah metafora untuk menggambarkan entah apa. Tapi Freud justru membantuku bermimpi buruk. Aku tiba-tiba takut pada tikus yang menggerogoti tumpukkan buku di kamarku kalau-kalau ia juga menyukai isi kepalaku yang baunya seperti plitur kayu rak bukuku. Sejak saat itu pula aku susah jatuh cinta, bahkan pada diriku sendiri.

Kau tahu orang tak setiap hari mencintai diri sendiri. Aku tidak bisa membayangkan jatuh cinta kecuali pada orang seperti dalam tokoh novel yang kusuka. Jujur, aku pernah seolah-olah jatuh cinta pada seorang perempuan saat naik angkutan umum. Wajahnya mirip Sula Peace tapi dinginnya seperti perempuan di dalam novel Murakami. Perempuan itu masih dalam kepalaku dengan durasi sekitar tiga puluh menit---duduk memaku di angkutan umum itu. Hingga di sudut pikiranku dengan durasi yang tak bisa kuhitung lagi. Jika susah tidur aku bisa minum obat, tapi bagaimana jika susah jatuh cinta? Malam ini aku akan minum obat tidur dan berharap esok pagi terbangun sebagai seekor kecoa.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun