Mohon tunggu...
Lugas Rumpakaadi
Lugas Rumpakaadi Mohon Tunggu... Jurnalis - WotaSepur

Wartawan di Jawa Pos Radar Banyuwangi yang suka mengamati isu perkeretaapian.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengapa Tidak Belajar dari Belanda?

15 November 2022   18:13 Diperbarui: 15 November 2022   18:23 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu ke belakang, Kecamatan Kalibaru menjadi sorotan masyarakat Banyuwangi. Sebab, sejak awal bulan ini, tepatnya Kamis (3/11/2022) malam, wilayah tersebut dikabarkan dihajar banjir bandang.

Kejadian yang cukup unik menurut saya, mengingat Kecamatan Kalibaru adalah dataran tinggi. Elevasinya saja di atas 400 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tapi, bagaimana bisa wilayah yang sejak zaman Belanda dijadikan areal perkebunan itu bisa diterjang banjir bandang?

Banyak pendapat bermunculan. Ada yang menyatakan bahwa hal itu dikarenakan curah hujan yang tinggi. Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyuwangi Mujito, melansir Jawa Pos Radar Banyuwangi edisi Jumat (11/11/2022) mengatakan, waktu kejadian (banjir), curah hujan mencapai 330 milimeter (mm).

Curah hujan normal di wilayah Kalibaru, menurut Mujito, seharusnya sekitar 100 mm. Potensi banjir baru akan muncul ketika curah hujan bisa menembus 170 mm. Itulah pendapat yang pertama. Pendapat ini masuk akal, mengingat setiap wilayah punya batasan dalam menampung air hujan.

Pendapat selanjutnya adalah karena adanya penyempitan Sungai Iyas. Di tepian sungai tersebut, banyak dijadikan pemukiman. Namun, rasanya pendapat ini juga kurang kuat. Sebab, pemukiman tersebut sudah ada sejak lama, sedangkan kejadian banjir bandang parahnya baru saja di tahun ini.

Satu lagi pendapat yang menurut saya paling masuk akal adalah karena adanya alih fungsi lahan. Wilayah Kalibaru dulunya merupakan areal perkebunan milik Belanda dengan komoditas tanaman tahunan, seperti kakao.

Saya ingat betul ketika masih kecil, sepanjang wilayah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII di Kecamatan Kalibaru pasti ada kakaonya. Namun, semua itu berubah sejak pemerintah memutuskan untuk menggantinya dengan tebu sebagai bentuk dukungan program swasembada gula.

Pendapat-pendapat tersebut pada akhirnya membuat pembaca bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat dataran tinggi seperti Kalibaru kebanjiran sebegitu parahnya? Akhirnya, jawabannya muncul dari hasil hearing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banyuwangi. Beritanya kebetulan ditulis rekan saya Gareta Wardani dan terbit di halaman depan Jawa Pos Radar Banyuwangi edisi Selasa (15/11/2022).

Hasil hearing tersebut menyatakan pemicu banjir bandang Kalibaru diakibatkan alih fungsi lahan PTPN XII. Hearing tersebut dihadiri eksekutif, legislatif, lembaga swadaya masyarakat (LSM), BPBD, pemerhati lingkungan, dan PTPN XII.

Pemimpin rapat dengar pendapat, Wakil Ketua III DPRD Banyuwangi Ruliyono membacakan hasilnya. Dari beberapa masukan, 80 persen peserta menghendaki alih fungsi lahan dikembalikan seperti semua, 15 persen berpendapat untuk dikaji kembali, dan 5 persen sisanya tidak ada kejelasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun