Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa DPR Tak Transparan Padahal Marketplace Bisa

6 September 2025   04:25 Diperbarui: 6 September 2025   04:25 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Bimbingan Islam di Unsplash 

Bayangkan DPR setransparan marketplace: rakyat bisa menilai, memberi review, dan melacak janji politik seperti memesan makanan. Demokrasi digital menjadi gotong royong nyata.


Politik kerap terasa jauh, dingin, dan penuh formalitas. Namun di dunia sehari-hari kita terbiasa dengan kecepatan, transparansi, dan keterhubungan instan. Jika semua layanan publik kini sudah bisa dilacak melalui aplikasi, mengapa politik justru tetap berjalan lamban, buram, dan penuh ruang gelap? Tulisan ini adalah ajakan membayangkan kembali demokrasi sebagai sesuatu yang bisa hidup dalam genggaman, transparan layaknya marketplace, cepat seperti layanan pesan antar, dan kolaboratif seperti gotong royong digital.


Kita hidup di zaman ketika segala sesuatu bisa dilacak dalam genggaman. Pesanan makanan, perjalanan ojek online, hingga status pengiriman barang. Setiap transaksi meninggalkan jejak, setiap layanan bisa diberi penilaian, dan setiap pengguna punya kesempatan memberi masukan langsung. Transparansi dalam dunia digital sudah menjadi standar. Tetapi ironisnya, lembaga yang paling seharusnya transparan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, masih berjalan di jalur lama yang lamban, tertutup, dan penuh ruang gelap.

Bayangkan sejenak, bagaimana jika DPR kita setransparan aplikasi marketplace? Bagaimana jika rakyat bisa melihat rating kinerja setiap anggota, lengkap dengan ulasan jujur dari konstituennya? Bagaimana jika setiap janji politik yang pernah diucapkan bisa ditandai statusnya dengan label ditunaikan, masih proses, atau belum terpenuhi, seperti notifikasi belanja online? Imajinasi ini bukan sekadar fantasi, tetapi refleksi atas betapa jauhnya praktik politik kita dari logika partisipasi yang kini menjadi kebiasaan sehari-hari.

Di luar sana, teknologi membuat kita terbiasa dengan kecepatan. Kita memesan makanan, dalam hitungan menit sudah diantar. Kita menyalurkan aspirasi melalui media sosial, dalam sekejap bisa viral. Tetapi mengapa aspirasi rakyat kepada DPR terasa begitu lamban? Mengapa menyampaikan suara kepada wakil yang dipilih justru sering kali terhalang birokrasi, formalitas rapat, atau bahkan pintu kantor yang tertutup? Ketimpangan ini menimbulkan frustrasi. Ada jarak antara kecepatan teknologi dan kelambanan politik. Jika di dunia digital kita bisa menekan tombol submit untuk langsung terhubung dengan layanan, mengapa di dunia politik suara rakyat seperti menguap di udara? Pertanyaan ini penting, karena demokrasi yang tidak mampu mengikuti denyut kehidupan sehari-hari akan kehilangan relevansinya.

Selama ini demokrasi dipahami sebatas angka, berapa suara yang masuk, siapa yang menang, siapa yang kalah. Tetapi dalam keseharian digital, kita belajar bahwa partisipasi tidak pernah berhenti di satu momen saja. Ada ruang diskusi, ada forum terbuka, ada gotong royong yang lahir dari interaksi pengguna. Demokrasi seharusnya mirip dengan ruang-ruang digital itu, sebuah ekosistem kolaboratif, bukan sekadar arena kompetisi. Jika rakyat bisa ikut memberi masukan dalam penyusunan undang-undang, bukan mustahil aturan yang lahir akan lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat, bukan hanya kepentingan elite. Politik seharusnya dibayangkan sebagai open source project, di mana setiap orang bisa memberi kontribusi, melakukan review, dan memperbaiki kesalahan bersama.

Pengalaman pribadi banyak orang, termasuk saya, menunjukkan betapa absurdnya realitas DPR hari ini. Kita memilih mereka setelah mendengar janji-janji manis, berharap ada perbaikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi lima tahun kemudian, kita mendapati janji itu menguap begitu saja. Tidak ada laporan kinerja yang jelas, tidak ada jejak rekam yang bisa diverifikasi, bahkan tidak ada ruang bagi rakyat untuk menegur. Anehnya, orang yang sama bisa terpilih kembali, seolah-olah tidak ada ingatan kolektif yang merekam kegagalannya. Inilah yang membuat kita membayangkan model baru. Seharusnya rakyat bisa langsung mengingatkan anggota DPR tentang janji yang belum ditepati, rakyat bisa mengakses dashboard kinerja wakilnya, lengkap dengan capaian, hambatan, dan kritik publik, undang-undang disusun bukan di ruang tertutup, melainkan dalam forum daring terbuka yang bisa ditinjau siapa saja. Dengan cara itu, politik bukan lagi sekadar ruang elite, tetapi ruang bersama.

Bayangkan jika setiap anggota DPR memiliki profil digital layaknya penjual di marketplace. Ada foto, riwayat janji, capaian nyata, hingga ulasan publik. Bayangkan jika rakyat bisa memberikan bintang, lima bintang untuk mereka yang konsisten menepati janji, satu bintang untuk mereka yang abai. Bayangkan jika mekanisme ini terhubung dengan sistem pemilu, sehingga popularitas bukan ditentukan oleh baliho atau iklan televisi, melainkan oleh jejak rekam yang bisa diverifikasi secara publik. Apakah ini terlalu utopis? Mungkin. Tetapi bukankah dunia digital sudah membuktikan bahwa utopia kecil bisa diwujudkan dengan inovasi sederhana? Dulu, memesan kendaraan pribadi lewat ponsel terdengar mustahil. Kini, ia menjadi kebiasaan sehari-hari. Politik juga bisa bergerak ke arah itu jika ada kemauan untuk membuka akses.

Tulisan ini bukan orasi politik. Saya tidak ingin mengulang jargon klise tentang bangsa besar atau sudah saatnya bangkit. Justru yang perlu kita lakukan adalah membongkar bahasa lama yang penuh retorika, dan menggantinya dengan bahasa sehari-hari yang membumi. Kita tidak butuh slogan baru, tetapi sistem baru. Sistem yang memberi ruang bagi kritik langsung, transparansi nyata, dan partisipasi instan.

Tiga pertanyaan selalu berputar dalam kepala saya setiap kali membayangkan demokrasi digital. Bagaimana jika DPR bisa setransparan marketplace? Mengapa aspirasi rakyat tidak secepat pesan makanan, padahal teknologi sudah memungkinkan? Apakah demokrasi masih relevan jika hanya dipahami sebagai angka suara, bukan gotong royong digital? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya ditujukan kepada DPR, tetapi juga kepada kita semua. Apakah kita siap menuntut standar baru? Apakah kita siap meninggalkan pola lama yang penuh kompromi?

Menulis tentang hal ini, saya tidak bisa menutupi rasa frustrasi. Frustrasi karena melihat begitu banyak peluang yang terbuang, begitu banyak janji yang tidak ditepati, begitu banyak ruang gelap yang dipertahankan. Tetapi di sisi lain, ada optimisme imajinatif. Dunia digital telah mengajarkan kita bahwa keterbukaan bisa menjadi norma, kecepatan bisa menjadi budaya, dan gotong royong bisa terjadi tanpa harus bertemu secara fisik. Mungkin demokrasi digital terdengar jauh, tetapi ia bisa dimulai dari hal kecil, keterbukaan data kinerja DPR, partisipasi publik dalam rancangan undang-undang, dan akses yang mudah bagi kritik rakyat. Jika langkah kecil ini bisa diwujudkan, maka langkah besar tidak lagi mustahil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun