Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Tanpa Anarki Saatnya Musyawarah Digital Terbuka

4 September 2025   02:16 Diperbarui: 4 September 2025   02:16 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Pancasila(Dok Kompas.com) 

Gagasan alternatif demokrasi Indonesia yang sehat dengan musyawarah digital, literasi politik, dan sistem aspirasi terbuka agar rakyat didengar tanpa anarki.

Demokrasi sering dipuja sebagai sistem terbaik, tetapi praktiknya di Indonesia sering kali hanya berhenti pada ritual lima tahunan. Rakyat bersuara lantang saat pemilu, lalu kembali terpinggirkan ketika pesta selesai. Harapan perubahan kandas, suara rakyat hanya didengar ketika massa turun ke jalan. Pertanyaannya, sampai kapan demokrasi dibiarkan berjalan dengan pola lama? Di era digital, sudah saatnya demokrasi menemukan wajah baru. Musyawarah tidak lagi hanya di ruang sidang tertutup atau di jalanan panas, melainkan hadir di ruang digital yang terbuka, transparan, dan dapat diakses seluruh rakyat.

Demokrasi di Indonesia selalu dielu-elukan sebagai sistem terbaik. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat masih sering diperdengarkan. Namun dalam kenyataan, suara rakyat baru benar-benar dianggap penting ketika pesta pemilu tiba. Setelah itu, rakyat kerap dipinggirkan, seolah hanya menjadi "pencuci piring" setelah pesta besar usai. Harapan rakyat yang menaruh keyakinan bahwa demokrasi akan membawa perubahan, perlahan terkikis oleh praktik yang tak sesuai. Pertumbuhan ekonomi memang tampak indah di atas kertas, tetapi rakyat kecil sulit merasakan dampak nyata. Mereka yang ingin menikmatinya pun harus menempuh birokrasi panjang, sementara sebagian besar hasil pembangunan hanya berputar di kalangan elit.

Di tengah kekecewaan itu, muncul pertanyaan: apakah demokrasi harus selalu diwujudkan dengan demonstrasi di jalan? Apakah satu-satunya cara menyampaikan aspirasi adalah dengan teriakan keras di depan gedung dewan? Jika ya, maka demokrasi hanya sebatas formalitas yang bergantung pada suara massa, bukan musyawarah yang beradab.

Sejak awal, demokrasi Indonesia memiliki landasan kuat dalam Pancasila, terutama sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Namun, dalam praktik, musyawarah sering hanya menjadi jargon. Rapat-rapat dewan lebih banyak diwarnai kepentingan politik ketimbang pencarian mufakat. Musyawarah publik jarang dijalankan, sementara suara rakyat lebih sering didengar jika sudah bergemuruh lewat demonstrasi.

Di satu sisi, demonstrasi memang sah dan dilindungi konstitusi. Ia adalah cara rakyat menyalurkan suara ketika jalur resmi tertutup. Tetapi, terlalu sering mengandalkan demonstrasi justru menimbulkan masalah baru: konflik horizontal, bentrokan, bahkan kekerasan. Demokrasi pun rentan berubah menjadi anarki.

Di era digital, seharusnya demokrasi tidak lagi hanya berkutat di jalanan atau ruang sidang terbatas. Kita bisa menghidupkan kembali musyawarah dalam bentuk baru: forum digital resmi yang terbuka, inklusif, dan transparan.

Bayangkan sebuah platform nasional yang memungkinkan rakyat mengusulkan gagasan, menyampaikan kritik, atau memberi solusi terhadap kebijakan. Setiap aspirasi tidak berhenti di ruang maya, melainkan diverifikasi, dikategorikan, dan ditindaklanjuti oleh lembaga terkait. Platform ini bisa menjadi "ruang musyawarah digital" yang merepresentasikan semangat sila keempat dengan format modern.

Budaya musyawarah digital akan menyeimbangkan hak rakyat untuk menyuarakan aspirasi dan kewajiban pemerintah untuk menindaklanjuti secara nyata. Ini jauh lebih sehat daripada sekadar mengandalkan demonstrasi fisik yang kerap berakhir ricuh.

Masalah demokrasi Indonesia tidak hanya soal kanal aspirasi, tetapi juga soal literasi politik. Banyak rakyat masih memandang pemilu sekadar ajang memilih "siapa yang bagi-bagi sembako paling banyak" atau "siapa yang tampil paling populer di televisi". Pemahaman kritis atas fungsi demokrasi masih minim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun