Apa arti sebuah nama bagi sebuah kota? Pertanyaan ini seakan sederhana, tetapi ketika menyebut "Subulussalam", maknanya begitu dalam. Kota kecil di ujung barat Aceh ini bukan sekadar penanda geografis, melainkan doa panjang yang tertanam dalam sejarahnya.Â
Nama itu, yang dalam bahasa Arab berarti "jalan keselamatan dan kedamaian", diberikan pada 14 September 1962 oleh Prof. Ali Hasyimi, seorang ulama sekaligus Gubernur Aceh kala itu.Â
Nama itu menjadi simbol harapan, agar kota ini tumbuh sebagai ruang damai, tempat masyarakatnya hidup dalam ketentraman lahir dan batin.
Hari ini, enam puluh tiga tahun sudah nama Subulussalam melekat. Setiap kali ulang tahun dirayakan, masyarakat berkumpul dalam upacara, dan doa.Â
Namun, perayaan itu tentu bukan hanya tentang seremoni. Di baliknya ada ruang untuk merenung: sejauh mana nama "jalan kedamaian" itu telah menjelma dalam kehidupan sehari-hari? Apakah ia hanya sebuah identitas simbolik, atau sudah benar-benar mewujud dalam wajah pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya?
Refleksi ini terasa mendesak, sebab nama besar dan doa panjang seringkali tidak selaras dengan realitas yang ada di lapangan. Kota ini, meski damai, masih menyimpan cerita tentang kemiskinan, stunting, banjir, hingga desa-desa terisolasi.Â
Maka, dalam usia ke-63, Subulussalam perlu bertanya lebih jauh: apakah ia sekadar berjalan di jalur kedamaian, atau sudah menapaki jalan yang lebih berat---jalan menuju kesejahteraan?
Kilas BalikÂ
Sejarah Subulussalam dimulai dari wilayah administratif yang dulu merupakan bagian Aceh Selatan. Pada 14 September 1962, Prof. Ali Hasyimi berkunjung ke Rundeng dan memberi nama kota ini. Pilihan kata "Subulussalam" bukanlah kebetulan.Â
Ia mengandung doa agar kota ini menjadi pusat kedamaian dan kesejahteraan, bahkan digambarkan cahaya dari Subulussalam akan menyinari hingga ke Darussalam, Banda Aceh. Filosofi religius ini kemudian menjadi identitas utama yang melekat hingga hari ini.
Tiga dekade kemudian, muncul dorongan masyarakat untuk memperjuangkan pemekaran. Sejak 1999, suara itu makin kuat. Alasan utamanya sederhana: masyarakat merasa pembangunan sering terabaikan ketika masih menjadi bagian dari Aceh Singkil.Â