Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Subulussalam 63 Tahun, Dari Jalan Kedamaian Menuju Jalan Kesejahteraan?

15 September 2025   11:48 Diperbarui: 15 September 2025   11:48 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, Memimpin Upacara Hari Jadi Kota Subulussalam Ke-63, Minggu, (14/9/2025). (Foto: AJNN/Humas Pemerintah Aceh)

Paradoks pertama terlihat jelas dalam nama. "Jalan kedamaian" seolah hanya berhenti pada ketentraman sosial, sementara jalan menuju kesejahteraan masih penuh lubang dan banjir. Warga memang hidup damai, tetapi masih banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. 

Ironisnya, angka stunting dan kemiskinan tinggi berdampingan dengan doa panjang yang tersemat dalam nama kota.

Paradoks berikutnya ada pada kekayaan alam. Subulussalam dijuluki "Kota 1001 Air Terjun". Alamnya indah, sungainya besar, tanahnya subur. 

Namun potensi itu belum berbuah menjadi kesejahteraan nyata. Wisata alam masih terhenti di brosur dan cerita mulut ke mulut. Infrastruktur jalan ke lokasi-lokasi indah belum dibangun. 

Sementara itu, sektor perkebunan sawit yang dominan lebih banyak menguntungkan pemilik modal besar dibanding petani kecil.

Di bidang kesehatan, paradoks terlihat dalam penurunan angka stunting yang signifikan, dari hampir 48 persen ke 29 persen. Penurunan ini memang patut disyukuri, tetapi angka itu tetap tinggi dan masih menggambarkan ratusan anak dengan gizi buruk. 

Program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS) yang digagas Kementerian Agama dan pemerintah kota memang kreatif, tetapi jelas perlu strategi lebih sistematis agar anak-anak Subulussalam benar-benar sehat.

Dari sisi infrastruktur, pemerintah sudah gencar membangun jalan dan jembatan. Namun, masih ada desa yang terisolasi dan warga yang harus naik sampan untuk mengakses layanan kesehatan. 

Banjir yang datang hampir setiap tahun menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup memperhatikan pengendalian lingkungan. Kanal Lae Souraya yang diusulkan, misalnya, hingga kini hanya sebatas wacana.

Pemekaran yang dulu diperjuangkan dengan idealisme tinggi kini juga menyisakan pertanyaan. Apakah benar pelayanan publik lebih dekat? Apakah benar rakyat lebih sejahtera? 

Kasus proyek fiktif menunjukkan bahwa pemekaran belum sepenuhnya menjawab harapan. Subulussalam memang lebih dekat secara administratif, tetapi tantangan mentalitas dan tata kelola masih sama beratnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun