Paradoks pertama terlihat jelas dalam nama. "Jalan kedamaian" seolah hanya berhenti pada ketentraman sosial, sementara jalan menuju kesejahteraan masih penuh lubang dan banjir. Warga memang hidup damai, tetapi masih banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.Â
Ironisnya, angka stunting dan kemiskinan tinggi berdampingan dengan doa panjang yang tersemat dalam nama kota.
Paradoks berikutnya ada pada kekayaan alam. Subulussalam dijuluki "Kota 1001 Air Terjun". Alamnya indah, sungainya besar, tanahnya subur.Â
Namun potensi itu belum berbuah menjadi kesejahteraan nyata. Wisata alam masih terhenti di brosur dan cerita mulut ke mulut. Infrastruktur jalan ke lokasi-lokasi indah belum dibangun.Â
Sementara itu, sektor perkebunan sawit yang dominan lebih banyak menguntungkan pemilik modal besar dibanding petani kecil.
Di bidang kesehatan, paradoks terlihat dalam penurunan angka stunting yang signifikan, dari hampir 48 persen ke 29 persen. Penurunan ini memang patut disyukuri, tetapi angka itu tetap tinggi dan masih menggambarkan ratusan anak dengan gizi buruk.Â
Program Bapak Asuh Anak Stunting (BAAS) yang digagas Kementerian Agama dan pemerintah kota memang kreatif, tetapi jelas perlu strategi lebih sistematis agar anak-anak Subulussalam benar-benar sehat.
Dari sisi infrastruktur, pemerintah sudah gencar membangun jalan dan jembatan. Namun, masih ada desa yang terisolasi dan warga yang harus naik sampan untuk mengakses layanan kesehatan.Â
Banjir yang datang hampir setiap tahun menunjukkan bahwa pembangunan tidak cukup memperhatikan pengendalian lingkungan. Kanal Lae Souraya yang diusulkan, misalnya, hingga kini hanya sebatas wacana.
Pemekaran yang dulu diperjuangkan dengan idealisme tinggi kini juga menyisakan pertanyaan. Apakah benar pelayanan publik lebih dekat? Apakah benar rakyat lebih sejahtera?Â
Kasus proyek fiktif menunjukkan bahwa pemekaran belum sepenuhnya menjawab harapan. Subulussalam memang lebih dekat secara administratif, tetapi tantangan mentalitas dan tata kelola masih sama beratnya.