Perjuangan panjang itu akhirnya terwujud ketika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 menetapkan Subulussalam sebagai daerah otonom. Sejak 2 Januari 2007, kota ini resmi berdiri sendiri, dan pada 15 Juni 2007 wali kota pertama dilantik.
Momentum pemekaran kala itu disambut gegap gempita. Harapan besar dititipkan: layanan publik akan lebih dekat, pembangunan lebih merata, dan masyarakat lebih sejahtera. Filosofi "Sada Kata", yang berarti sepakat satu kata, dijadikan semboyan untuk menggambarkan semangat kebersamaan membangun kota baru ini.
Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Subulussalam yang luasnya sekitar 1.391 kilometer persegi dengan lima kecamatan---Simpang Kiri, Penanggalan, Rundeng, Sultan Daulat, dan Longkib---harus menghadapi tantangan geografis yang tidak ringan.Â
Sebagian wilayahnya masih terisolasi, dengan akses jalan yang buruk. Transportasi yang dulu mengandalkan sungai memang mulai tergantikan jalan darat, tapi infrastruktur belum seimbang.
Di sisi lain, julukan "Kota 1001 Air Terjun" menunjukkan kekayaan alam yang luar biasa. Potensi wisata begitu besar, ditambah kekayaan perkebunan sawit yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat.Â
Akan tetapi, potensi itu belum sepenuhnya terkelola. Banyak air terjun yang indah tetapi sulit dijangkau, belum ada investasi memadai, dan hanya menjadi cerita lokal.
Sejarah singkat ini memperlihatkan bahwa Subulussalam berdiri dengan idealisme yang tinggi. Namanya adalah doa, semboyannya adalah persatuan, dan pemekarannya adalah perjuangan.Â
Tetapi, seperti halnya sebuah rumah tangga baru, membangun kota dari nol bukanlah perkara gampang. Dalam delapan belas tahun sebagai daerah otonom, Subulussalam masih mencari bentuk terbaiknya.
Kilas balik ini penting, karena tanpa memahami titik awal dan janji-janji yang pernah ditaburkan, kita tidak bisa menilai sejauh mana perjalanan hari ini sejalan dengan harapan. Hari jadi ke-63 adalah momen yang tepat untuk melihat kembali, apakah Subulussalam benar-benar sudah berjalan di atas jalannya sendiri.
Potret Realitas Hari Ini
Jika melihat data terbaru, tantangan Subulussalam tidak bisa dianggap remeh. Dari sisi pendidikan, misalnya, rata-rata lama sekolah penduduk usia 25 tahun ke atas hanya 8,43 tahun pada 2024 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Katadata.Â
Angka ini memang naik tipis dibanding 2023 (8,32 tahun), tetapi masih di bawah rata-rata Provinsi Aceh yang sudah mencapai 9,64 tahun. Artinya, banyak warga Subulussalam yang hanya tamat SMP atau bahkan tidak menyelesaikan pendidikan dasar.