Paradoks identitas juga mencolok. "Sada Kata" atau sepakat satu kata sering dikumandangkan dalam seremoni. Namun, dalam praktik politik lokal, friksi kepentingan kerap menghambat konsolidasi pembangunan.Â
Bukankah semboyan ini seharusnya tercermin dalam anggaran yang berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya pada proyek-proyek elitis?
Semua paradoks ini mengingatkan kita bahwa Subulussalam bukan hanya soal damai, tetapi juga soal berani jujur menghadapi kenyataan. Damai tanpa sejahtera bisa rapuh. Nama besar tanpa isi hanya tinggal legenda. Kota ini harus berani menyeberang dari jalan kedamaian menuju jalan kesejahteraan yang nyata.
Harapan dan Jalan Kesejahteraan
Meski banyak persoalan, tidak adil jika hanya melihat sisi gelap. Penurunan angka stunting hampir 20 persen dalam satu tahun adalah capaian luar biasa. Itu menunjukkan bahwa dengan kerja sama pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak, perubahan signifikan bisa dicapai.Â
Program BAAS adalah contoh bagaimana kearifan lokal bisa digabungkan dengan kebijakan kesehatan untuk menyelamatkan generasi muda.
Kemiskinan memang masih tinggi, tetapi tren penurunannya memberi harapan. Jika tahun 2021 berada di angka 17,65 persen dan turun ke 16,38 persen pada 2024 menurut BPS, itu artinya ada upaya nyata untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat.Â
Tantangannya adalah mempercepat penurunan ini dengan menciptakan lapangan kerja baru, terutama dari sektor pariwisata dan hilirisasi hasil perkebunan.
Subulussalam punya peluang emas di sektor wisata. Air terjun, hutan, dan sungai bisa menjadi sumber ekonomi baru jika dikelola dengan baik. Pemerintah bisa belajar dari daerah lain di Aceh yang mulai serius membangun wisata alam berbasis komunitas.Â
Dengan keterlibatan masyarakat desa, wisata bisa membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan sekaligus melestarikan lingkungan.
Di sektor pendidikan, meski rata-rata lama sekolah masih rendah, ada peluang memperbaikinya dengan program beasiswa dan akses digital. Anak-anak Subulussalam tidak kalah pintar, hanya saja akses mereka terbatas.Â
Dengan teknologi, pembelajaran jarak jauh bisa menjadi solusi, asalkan pemerintah serius membangun infrastruktur internet di desa-desa.