Kemiskinan juga masih menjadi cerita panjang. Pada November 2024, BPS mencatat 16,38 persen penduduk Subulussalam hidup di bawah garis kemiskinan. Angka itu setara dengan hampir 14 ribu jiwa dari total populasi.Â
Memang terjadi penurunan dibanding 2021 yang mencapai 17,65 persen, tetapi tetap saja berarti hampir satu dari lima warga hidup dalam kondisi serba terbatas.
Masalah kesehatan anak bahkan lebih mengkhawatirkan. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menempatkan Subulussalam dengan angka stunting 47,9 persen, salah satu yang tertinggi di Aceh.Â
Angka itu turun drastis pada 2023 menjadi sekitar 29,6 persen, menurut laporan Portalsatu. Walaupun penurunan ini patut diapresiasi, angkanya masih jauh di atas target nasional yang diharapkan turun menjadi 14 persen pada 2024.
Banjir juga menjadi persoalan tahunan. Sungai Lae Souraya kerap meluap dan merendam permukiman warga. Pemerintah kota bahkan mengusulkan pembangunan kanal sebagai solusi jangka panjang, menurut laporan Antara Aceh.Â
Namun, hingga kini usulan itu masih bergulir, belum terealisasi. Sementara itu, warga terus berhadapan dengan banjir yang merusak rumah, kebun, dan akses jalan.
Keterlambatan dalam pengesahan anggaran juga menjadi noda tersendiri. Pada 2025, APBK Subulussalam terlambat disahkan sehingga kota ini terancam kehilangan Dana Alokasi Umum sebesar Rp 5 miliar, seperti dilaporkan Teropong Barat.Â
Di sisi lain, pemerintah kota juga menanggung tunggakan listrik hingga Rp 3 miliar, menurut Instanews, yang menggambarkan lemahnya manajemen keuangan daerah.
Kondisi desa terisolasi masih terjadi, terutama di Kecamatan Longkib. Antara Aceh mencatat ada beberapa desa yang ketika musim hujan hanya bisa diakses lewat sungai karena jalan tidak bisa dilalui kendaraan. Kondisi ini membuat layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi warga desa terhambat.
Korupsi juga menghantui. Kasus proyek fiktif di Dinas PUPR Subulussalam, yang terungkap oleh Badan Pemeriksa Keuangan, menjadi pelajaran pahit. Pembangunan jalan dan fasilitas MCK yang seharusnya dinikmati masyarakat ternyata hanya ada di atas kertas. Ini menunjukkan bahwa persoalan akuntabilitas belum sepenuhnya tuntas di kota muda ini.
Potret realitas ini mengingatkan kita bahwa Subulussalam masih jauh dari sempurna. Kedamaian memang terjaga, konflik besar tidak terjadi, tetapi kesejahteraan belum merata. Dalam banyak hal, nama besar kota ini masih berbenturan dengan kenyataan sehari-hari.