Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengasuh, Menghidupi, dan Menghadapi Label: Jalan Panjang Perempuan Single Parent

1 September 2025   07:02 Diperbarui: 1 September 2025   00:19 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang Ibu single parent yang membawa kedua anaknya Ngojek. (Sumber: MobiMoto.com via Nakita.id)

"Mari berhenti melabeli, karena setiap perempuan single parent bukan sekadar 'janda', melainkan pejuang kehidupan yang layak dihormati."

Pernahkah kita berhenti sejenak untuk membayangkan bagaimana rasanya mengasuh seorang anak tanpa pasangan di sisi kita? Bayangan itu mungkin terasa berat, namun bagi sebagian perempuan di negeri ini, itu adalah kenyataan sehari-hari yang tidak bisa dihindari. Mereka harus menjadi orang tua tunggal, yang berarti memegang dua peran sekaligus: pencari nafkah dan pengasuh utama.

Ketika sebuah rumah tangga berakhir karena perceraian atau kehilangan pasangan, yang tersisa hanyalah keharusan untuk tetap melanjutkan hidup. Anak-anak tetap harus sekolah, tetap membutuhkan makan, tetap memerlukan bimbingan. 

Dalam situasi itu, perempuan single parent sering kali harus menata ulang seluruh kehidupannya. Tidak hanya soal materi, tetapi juga soal mental yang harus tetap kokoh di depan anak.

Sayangnya, beban itu tidak berhenti di situ. Selain harus bekerja keras mencari nafkah, mereka juga harus menghadapi tekanan sosial yang sering datang dalam bentuk stigma. Label "janda" misalnya, kerap menjadi beban tambahan yang melekat pada perempuan single parent. Kata yang seharusnya netral, justru sering digunakan sebagai ejekan atau bahkan penghakiman.

Perempuan single parent kerap dilihat dengan tatapan berbeda. Alih-alih dihargai atas perjuangannya, mereka sering dicurigai, digosipkan, bahkan dijauhi. Padahal, tidak ada satu pun perempuan yang bercita-cita menjadi janda sejak awal. Status itu lahir dari perjalanan hidup, yang kadang penuh luka, kadang penuh keputusan sulit, tetapi tetap pantas dihargai.

Tulisan ini ingin mengajak kita melihat lebih dekat realitas perempuan single parent: bagaimana mereka mengasuh anak seorang diri, bagaimana mereka berjuang menghidupi keluarga, dan bagaimana mereka menghadapi label sosial yang tidak jarang lebih menyakitkan daripada kenyataan hidup itu sendiri.

Mengasuh Anak Seorang Diri 

Mengasuh anak bukan pekerjaan mudah, bahkan ketika dilakukan berdua bersama pasangan. Apalagi jika semua tanggung jawab itu harus ditanggung seorang diri. Perempuan single parent dituntut untuk menjadi sosok ibu yang penuh kasih sayang sekaligus figur ayah yang tegas. Peran ganda ini sering kali menimbulkan dilema, karena tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan kehadiran pasangan.

Banyak perempuan single parent yang harus belajar memainkan dua peran itu dengan seimbang. Di satu sisi, mereka harus memastikan anak mendapatkan perhatian emosional yang cukup. Di sisi lain, mereka juga harus mengajarkan disiplin dan kemandirian. Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran salah satu orang tua memang menghadapi tantangan tersendiri, tetapi dengan cinta dan keteguhan, banyak ibu tunggal berhasil mengisi kekosongan itu.

Tidak jarang, anak-anak dari keluarga single parent justru tumbuh menjadi pribadi yang mandiri. Mereka terbiasa melihat ibunya bekerja keras dan berjuang tanpa menyerah. Nilai ketangguhan itu tanpa sadar diwariskan kepada mereka. Namun, tentu saja, di balik itu ada banyak air mata yang mungkin tidak terlihat. Ibu tunggal sering kali menahan rasa lelah dan sedih agar tidak terlihat rapuh di depan anak-anaknya.

Realitas ini diperkuat oleh penelitian psikologi yang menyebutkan bahwa anak-anak dari keluarga single parent bisa tetap tumbuh sehat secara mental jika mendapatkan dukungan emosional yang cukup dari orang tua yang ada. Menurut American Psychological Association (APA), kunci penting dalam keluarga tunggal adalah stabilitas dan konsistensi dalam pengasuhan. Hal ini juga berlaku di Indonesia, di mana dukungan ibu tunggal sangat menentukan perkembangan anak.

Namun, perjuangan mengasuh tidak selalu mulus. Ada kalanya anak merindukan sosok ayah, terutama dalam momen-momen tertentu seperti acara sekolah atau perayaan keluarga. Pertanyaan polos dari anak seperti, "Kenapa ayah tidak ada?" bisa menjadi ujian terberat bagi seorang ibu tunggal. Ia harus menjawab dengan bijak, menjaga hati anak, sekaligus menenangkan dirinya sendiri.

Selain itu, ibu tunggal juga harus menghadapi pandangan masyarakat terhadap anak-anaknya. Ada stigma bahwa anak dari keluarga janda akan "kurang perhatian" atau "kurang didikan." Padahal, stigma ini tidak berdasar dan justru berpotensi melukai anak yang sebenarnya tumbuh dengan penuh cinta.

Mengasuh seorang diri berarti selalu berada dalam kondisi siaga. Tidak ada kesempatan untuk benar-benar istirahat, karena semua beban ada di pundak yang sama. Meski begitu, banyak ibu tunggal yang tetap mampu menjalani peran itu dengan penuh cinta. Senyum anak-anak mereka menjadi alasan utama untuk terus bertahan, meski jalan terasa berat.

Mengasuh seorang diri adalah ujian panjang, tetapi juga bukti bahwa seorang ibu mampu melampaui keterbatasannya. Dan dari sinilah lahir cerita-cerita inspiratif tentang ketabahan yang patut diapresiasi, bukan dicibir.

Menghidupi dengan Segala Keterbatasan 

Bagi perempuan single parent, persoalan ekonomi adalah salah satu tantangan terbesar. Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika akses pekerjaan masih terbatas bagi perempuan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat bahwa jumlah rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan mencapai 15,7% dari total rumah tangga di Indonesia. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang tidak menentu.

Realitas ini membuat banyak ibu tunggal harus berjuang dari pagi hingga malam hanya untuk memastikan dapur tetap mengepul. Ada yang berjualan makanan kecil, menjadi buruh cuci, atau bekerja sebagai karyawan dengan gaji pas-pasan. Tidak jarang, mereka harus mengambil pekerjaan tambahan agar bisa membayar biaya sekolah anak.

Masalahnya, waktu mereka terbatas. Ketika sibuk bekerja, anak-anak sering kali kurang mendapatkan perhatian. Ketika bersama anak, penghasilan bisa berkurang. Dilema semacam ini menjadi cerita sehari-hari perempuan single parent. Mereka berada dalam posisi serba salah, tetapi tetap harus dijalani.

Selain itu, perempuan single parent juga menghadapi tantangan diskriminasi di dunia kerja. Ada perusahaan yang enggan menerima janda karena dianggap "ribet" atau tidak stabil secara emosional. Ada pula yang memberi upah lebih rendah hanya karena status mereka. Diskriminasi semacam ini menambah sulit perjuangan yang sudah berat.

Meski begitu, banyak ibu tunggal yang tidak menyerah. Mereka kreatif mencari jalan keluar. Ada yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan, ada pula yang bergabung dengan komunitas usaha kecil agar bisa saling mendukung. Kreativitas ini menjadi salah satu modal besar untuk bertahan hidup.

Di sisi lain, negara sebenarnya memiliki kewajiban untuk membantu. Program bantuan sosial memang ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), namun banyak ibu tunggal yang tidak bisa mengaksesnya karena birokrasi yang rumit. Padahal, mereka termasuk kelompok rentan yang seharusnya diprioritaskan.

Ketika berbicara soal menghidupi keluarga, kita tidak bisa hanya melihat dari sisi materi. Ada beban mental yang ikut menyertai. Rasa bersalah sering menghantui ibu tunggal karena merasa tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anaknya. Rasa ini membuat mereka semakin tertekan, meski sebenarnya sudah berjuang sekuat tenaga.

Namun, justru dari tekanan itu lahir kekuatan. Banyak cerita ibu tunggal yang akhirnya berhasil membawa anak-anaknya meraih pendidikan tinggi, meski dengan keterbatasan. Kisah semacam ini menjadi bukti bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.

Menghidupi keluarga seorang diri memang jalan panjang yang penuh liku. Tetapi, setiap langkah yang diambil perempuan single parent adalah bukti nyata ketabahan yang luar biasa.

Menghadapi Label dan Stigma Sosial 

Selain beban ekonomi dan pengasuhan, perempuan single parent sering kali menghadapi beban lain yang lebih sulit dijelaskan: stigma sosial. Label "janda" kerap menjadi identitas yang dilekatkan pada mereka, meski seharusnya status pernikahan bukanlah ukuran moral atau nilai seseorang. Sayangnya, dalam masyarakat kita, kata "janda" sering kali digunakan sebagai bahan olok-olok, gosip, bahkan pelecehan.

Perbedaan perlakuan terlihat jelas jika kita membandingkan dengan status "duda." Seorang duda sering dipandang tetap berwibawa, masih dianggap layak untuk mencari pasangan baru, bahkan kadang dipuji karena mampu mengurus anak seorang diri. Sebaliknya, seorang janda justru lebih sering dicurigai, bahkan dianggap ancaman bagi rumah tangga orang lain. Stigma ini mencerminkan betapa tidak adilnya standar sosial yang berlaku.

Kata "janda" juga sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan nada merendahkan. Banyak lelucon di media sosial yang menjadikan status janda sebagai bahan tertawaan. Padahal, di balik kata itu ada manusia yang sedang berjuang keras demi keluarganya. Candaan semacam ini tanpa sadar memperkuat stigma dan menyulitkan perempuan single parent untuk melangkah.

Stigma sosial juga berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Seorang ibu tunggal yang bekerja hingga larut malam, misalnya, bisa dengan mudah digunjingkan oleh tetangga. Ia dianggap "keluar rumah terlalu sering" atau "mencari perhatian laki-laki." Padahal, ia hanya sedang berjuang mencari nafkah. Pandangan semacam ini menambah beban psikologis yang sudah berat.

Lebih jauh lagi, stigma itu juga bisa merembet ke anak-anak. Anak-anak dari keluarga janda sering kali ikut mendapat komentar tidak menyenangkan, seperti "anaknya janda" atau "pasti kurang perhatian." Kata-kata ini melukai harga diri anak, padahal mereka tidak bersalah sama sekali. Akibatnya, ibu tunggal harus bekerja ekstra keras, tidak hanya untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi juga untuk menjaga kesehatan mental anak-anaknya.

Dalam banyak kasus, perempuan single parent memilih menarik diri dari lingkungan sosial karena lelah menghadapi komentar yang menyakitkan. Mereka lebih memilih membatasi interaksi daripada terus-menerus dijadikan bahan gosip. Akibatnya, mereka semakin terisolasi, padahal dukungan sosial justru sangat dibutuhkan untuk meringankan beban hidup.

Media massa juga punya peran besar dalam memperkuat stigma ini. Sinetron di televisi kerap menampilkan tokoh janda sebagai perempuan penggoda atau sosok antagonis. Gambaran ini kemudian meresap ke dalam cara pandang masyarakat, sehingga janda sering diasosiasikan dengan hal-hal negatif. Padahal, realitas di lapangan jauh berbeda.

Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, stigma terhadap janda membuat mereka rentan mengalami diskriminasi berlapis. Selain diskriminasi gender sebagai perempuan, mereka juga menghadapi diskriminasi status sebagai janda, dan seringkali diskriminasi ekonomi karena terbatasnya kesempatan kerja. Laporan itu menegaskan bahwa stigma bukan hanya persoalan kata, melainkan persoalan nyata yang memengaruhi kualitas hidup perempuan.

Namun, tidak semua lingkungan bersikap demikian. Ada pula komunitas atau keluarga yang justru memberi dukungan penuh. Mereka melihat perempuan single parent bukan dari statusnya, melainkan dari perjuangannya. Dukungan seperti ini sangat penting untuk melawan stigma, karena mampu memberikan rasa aman dan percaya diri kepada perempuan yang sering kali merasa sendirian dalam perjuangan.

Menghadapi label "janda" memang bukan hal yang mudah. Tetapi banyak perempuan single parent yang tetap memilih berdiri tegak. Mereka membuktikan bahwa stigma tidak bisa mendefinisikan siapa diri mereka. Identitas mereka bukanlah label yang diberikan orang lain, melainkan perjuangan yang mereka jalani setiap hari demi anak-anak yang mereka cintai.

Jalan Panjang: Dari Ketabahan Menuju Perubahan 

Meski menghadapi begitu banyak tantangan, perempuan single parent di Indonesia tidak pernah berhenti berjuang. Mereka tetap berjalan di jalan panjang yang penuh liku, dengan satu tujuan utama: memastikan anak-anaknya bisa tumbuh dengan baik. Jalan ini bukan sekadar tentang bertahan hidup, tetapi juga tentang membangun harapan baru di tengah keterbatasan.

Ketabahan seorang ibu tunggal sering kali lahir dari luka yang dalam. Banyak di antara mereka yang memulai perjalanan ini dengan air mata: perceraian yang menyakitkan, kehilangan pasangan karena kematian, atau keputusan berat untuk melindungi diri dari hubungan yang tidak sehat. Namun, dari luka itu, mereka belajar menemukan kekuatan baru.

Kisah inspiratif sering datang dari mereka yang mampu membalik keadaan. Ada ibu tunggal yang bekerja sebagai pedagang kecil, tetapi berhasil menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Ada pula yang berjuang dari pekerjaan serabutan, lalu pelan-pelan membangun usaha kecil yang kini menjadi sumber penghidupan keluarga. Kisah-kisah ini jarang terdengar di media, tetapi nyata hadir di sekitar kita.

Komunitas juga memainkan peran penting dalam perjalanan panjang ini. Kehadiran kelompok pendukung seperti Single Mom Indonesia misalnya, memberikan ruang aman bagi perempuan single parent untuk saling berbagi pengalaman. Mereka tidak lagi merasa sendirian, karena ada orang lain yang memahami betul perjuangan serupa. Solidaritas ini menjadi sumber kekuatan tambahan untuk melawan stigma.

Selain komunitas, peran keluarga juga sangat menentukan. Tidak semua perempuan single parent beruntung mendapat dukungan keluarga, tetapi bagi yang mendapatkannya, jalan terasa lebih ringan. Kehadiran orang tua, saudara, atau kerabat yang mau membantu menjaga anak atau mendukung secara finansial membuat beban bisa terbagi. Dukungan ini juga bisa meredam rasa sepi dan tekanan sosial yang sering mereka rasakan.

Namun, perjuangan menuju perubahan tidak bisa hanya dibebankan pada individu atau komunitas. Negara juga memiliki peran besar. Data dari Komnas Perempuan 2022 menunjukkan bahwa perempuan kepala keluarga termasuk kelompok rentan yang paling membutuhkan perlindungan. Dukungan kebijakan seperti akses pendidikan gratis, subsidi kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi menjadi kunci penting agar mereka bisa bangkit dari keterbatasan.

Kita juga perlu mengubah cara pandang sebagai masyarakat. Alih-alih menghakimi, sudah seharusnya kita memberi apresiasi. Alih-alih melabeli, sudah seharusnya kita memberikan dukungan. Perubahan cara pandang ini tidak hanya akan meringankan beban perempuan single parent, tetapi juga memberikan ruang aman bagi anak-anak mereka untuk tumbuh tanpa rasa malu terhadap status keluarganya.

Ketabahan yang mereka miliki seharusnya menjadi inspirasi, bukan bahan gosip. Karena di balik senyum seorang ibu tunggal, ada air mata yang disembunyikan, ada tenaga yang dipaksa bekerja ekstra, dan ada doa yang tidak pernah putus untuk masa depan anak-anaknya. Itulah yang membuat perjalanan mereka layak dihormati.

Perubahan tidak akan datang seketika, tetapi bisa dimulai dari langkah-langkah kecil. Menghentikan candaan yang merendahkan, membuka ruang pekerjaan yang lebih ramah bagi ibu tunggal, dan membangun komunitas yang lebih inklusif adalah beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan. Dengan cara ini, stigma yang selama ini menjerat perlahan bisa dilepaskan.

Jalan panjang perempuan single parent adalah cerita tentang keberanian, ketabahan, dan cinta tanpa batas. Dari mereka kita belajar bahwa hidup, meski penuh rintangan, tetap bisa dijalani dengan kepala tegak. Mereka bukan sekadar korban keadaan, tetapi pejuang yang membuktikan bahwa kasih sayang seorang ibu mampu menaklukkan stigma dan keterbatasan.

Penutup: Menghargai Perjuangan, Menghapus Stigma 

Menjadi perempuan single parent bukanlah jalan yang dipilih dengan mudah. Itu adalah jalan yang hadir karena keadaan, karena keberanian untuk mengambil keputusan, atau karena kehilangan yang tidak pernah direncanakan. Namun, apa pun penyebabnya, status itu tidak boleh dijadikan bahan ejekan atau penghakiman.

Label "janda" yang sering melekat justru memperberat langkah mereka. Alih-alih mendapat dukungan, banyak ibu tunggal harus berjuang melawan stigma yang menyakitkan. Padahal, jika kita mau melihat lebih dalam, perjuangan mereka adalah salah satu bentuk keteguhan hati yang luar biasa. Mereka adalah sosok yang setiap hari menyeimbangkan peran sebagai pencari nafkah, pengasuh, sekaligus pelindung bagi anak-anaknya.

Sebagai masyarakat, kita punya tanggung jawab moral untuk mengubah cara pandang ini. Menghapus stigma bukan sekadar soal kata-kata, tetapi juga soal bagaimana kita memperlakukan perempuan single parent di sekitar kita. Apresiasi, empati, dan dukungan nyata adalah hal kecil yang bisa berdampak besar bagi mereka dan anak-anaknya.

Akhirnya, dari perjalanan panjang perempuan single parent, kita belajar tentang arti ketabahan, keberanian, dan cinta yang tanpa batas. Sudah saatnya kita berhenti melihat mereka dari kacamata stereotip, dan mulai menempatkan mereka pada posisi yang layak: sebagai pejuang yang pantas dihormati. Karena di balik setiap ibu tunggal, ada kisah luar biasa tentang bagaimana cinta bisa mengalahkan stigma.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun