Namun, justru dari tekanan itu lahir kekuatan. Banyak cerita ibu tunggal yang akhirnya berhasil membawa anak-anaknya meraih pendidikan tinggi, meski dengan keterbatasan. Kisah semacam ini menjadi bukti bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.
Menghidupi keluarga seorang diri memang jalan panjang yang penuh liku. Tetapi, setiap langkah yang diambil perempuan single parent adalah bukti nyata ketabahan yang luar biasa.
Menghadapi Label dan Stigma SosialÂ
Selain beban ekonomi dan pengasuhan, perempuan single parent sering kali menghadapi beban lain yang lebih sulit dijelaskan: stigma sosial. Label "janda" kerap menjadi identitas yang dilekatkan pada mereka, meski seharusnya status pernikahan bukanlah ukuran moral atau nilai seseorang. Sayangnya, dalam masyarakat kita, kata "janda" sering kali digunakan sebagai bahan olok-olok, gosip, bahkan pelecehan.
Perbedaan perlakuan terlihat jelas jika kita membandingkan dengan status "duda." Seorang duda sering dipandang tetap berwibawa, masih dianggap layak untuk mencari pasangan baru, bahkan kadang dipuji karena mampu mengurus anak seorang diri. Sebaliknya, seorang janda justru lebih sering dicurigai, bahkan dianggap ancaman bagi rumah tangga orang lain. Stigma ini mencerminkan betapa tidak adilnya standar sosial yang berlaku.
Kata "janda" juga sering digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan nada merendahkan. Banyak lelucon di media sosial yang menjadikan status janda sebagai bahan tertawaan. Padahal, di balik kata itu ada manusia yang sedang berjuang keras demi keluarganya. Candaan semacam ini tanpa sadar memperkuat stigma dan menyulitkan perempuan single parent untuk melangkah.
Stigma sosial juga berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Seorang ibu tunggal yang bekerja hingga larut malam, misalnya, bisa dengan mudah digunjingkan oleh tetangga. Ia dianggap "keluar rumah terlalu sering" atau "mencari perhatian laki-laki." Padahal, ia hanya sedang berjuang mencari nafkah. Pandangan semacam ini menambah beban psikologis yang sudah berat.
Lebih jauh lagi, stigma itu juga bisa merembet ke anak-anak. Anak-anak dari keluarga janda sering kali ikut mendapat komentar tidak menyenangkan, seperti "anaknya janda" atau "pasti kurang perhatian." Kata-kata ini melukai harga diri anak, padahal mereka tidak bersalah sama sekali. Akibatnya, ibu tunggal harus bekerja ekstra keras, tidak hanya untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi juga untuk menjaga kesehatan mental anak-anaknya.
Dalam banyak kasus, perempuan single parent memilih menarik diri dari lingkungan sosial karena lelah menghadapi komentar yang menyakitkan. Mereka lebih memilih membatasi interaksi daripada terus-menerus dijadikan bahan gosip. Akibatnya, mereka semakin terisolasi, padahal dukungan sosial justru sangat dibutuhkan untuk meringankan beban hidup.
Media massa juga punya peran besar dalam memperkuat stigma ini. Sinetron di televisi kerap menampilkan tokoh janda sebagai perempuan penggoda atau sosok antagonis. Gambaran ini kemudian meresap ke dalam cara pandang masyarakat, sehingga janda sering diasosiasikan dengan hal-hal negatif. Padahal, realitas di lapangan jauh berbeda.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, stigma terhadap janda membuat mereka rentan mengalami diskriminasi berlapis. Selain diskriminasi gender sebagai perempuan, mereka juga menghadapi diskriminasi status sebagai janda, dan seringkali diskriminasi ekonomi karena terbatasnya kesempatan kerja. Laporan itu menegaskan bahwa stigma bukan hanya persoalan kata, melainkan persoalan nyata yang memengaruhi kualitas hidup perempuan.
Namun, tidak semua lingkungan bersikap demikian. Ada pula komunitas atau keluarga yang justru memberi dukungan penuh. Mereka melihat perempuan single parent bukan dari statusnya, melainkan dari perjuangannya. Dukungan seperti ini sangat penting untuk melawan stigma, karena mampu memberikan rasa aman dan percaya diri kepada perempuan yang sering kali merasa sendirian dalam perjuangan.