Namun, perjuangan mengasuh tidak selalu mulus. Ada kalanya anak merindukan sosok ayah, terutama dalam momen-momen tertentu seperti acara sekolah atau perayaan keluarga. Pertanyaan polos dari anak seperti, "Kenapa ayah tidak ada?" bisa menjadi ujian terberat bagi seorang ibu tunggal. Ia harus menjawab dengan bijak, menjaga hati anak, sekaligus menenangkan dirinya sendiri.
Selain itu, ibu tunggal juga harus menghadapi pandangan masyarakat terhadap anak-anaknya. Ada stigma bahwa anak dari keluarga janda akan "kurang perhatian" atau "kurang didikan." Padahal, stigma ini tidak berdasar dan justru berpotensi melukai anak yang sebenarnya tumbuh dengan penuh cinta.
Mengasuh seorang diri berarti selalu berada dalam kondisi siaga. Tidak ada kesempatan untuk benar-benar istirahat, karena semua beban ada di pundak yang sama. Meski begitu, banyak ibu tunggal yang tetap mampu menjalani peran itu dengan penuh cinta. Senyum anak-anak mereka menjadi alasan utama untuk terus bertahan, meski jalan terasa berat.
Mengasuh seorang diri adalah ujian panjang, tetapi juga bukti bahwa seorang ibu mampu melampaui keterbatasannya. Dan dari sinilah lahir cerita-cerita inspiratif tentang ketabahan yang patut diapresiasi, bukan dicibir.
Menghidupi dengan Segala KeterbatasanÂ
Bagi perempuan single parent, persoalan ekonomi adalah salah satu tantangan terbesar. Menjadi tulang punggung keluarga bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika akses pekerjaan masih terbatas bagi perempuan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 mencatat bahwa jumlah rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan mencapai 15,7% dari total rumah tangga di Indonesia. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor informal dengan penghasilan yang tidak menentu.
Realitas ini membuat banyak ibu tunggal harus berjuang dari pagi hingga malam hanya untuk memastikan dapur tetap mengepul. Ada yang berjualan makanan kecil, menjadi buruh cuci, atau bekerja sebagai karyawan dengan gaji pas-pasan. Tidak jarang, mereka harus mengambil pekerjaan tambahan agar bisa membayar biaya sekolah anak.
Masalahnya, waktu mereka terbatas. Ketika sibuk bekerja, anak-anak sering kali kurang mendapatkan perhatian. Ketika bersama anak, penghasilan bisa berkurang. Dilema semacam ini menjadi cerita sehari-hari perempuan single parent. Mereka berada dalam posisi serba salah, tetapi tetap harus dijalani.
Selain itu, perempuan single parent juga menghadapi tantangan diskriminasi di dunia kerja. Ada perusahaan yang enggan menerima janda karena dianggap "ribet" atau tidak stabil secara emosional. Ada pula yang memberi upah lebih rendah hanya karena status mereka. Diskriminasi semacam ini menambah sulit perjuangan yang sudah berat.
Meski begitu, banyak ibu tunggal yang tidak menyerah. Mereka kreatif mencari jalan keluar. Ada yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan, ada pula yang bergabung dengan komunitas usaha kecil agar bisa saling mendukung. Kreativitas ini menjadi salah satu modal besar untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, negara sebenarnya memiliki kewajiban untuk membantu. Program bantuan sosial memang ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), namun banyak ibu tunggal yang tidak bisa mengaksesnya karena birokrasi yang rumit. Padahal, mereka termasuk kelompok rentan yang seharusnya diprioritaskan.
Ketika berbicara soal menghidupi keluarga, kita tidak bisa hanya melihat dari sisi materi. Ada beban mental yang ikut menyertai. Rasa bersalah sering menghantui ibu tunggal karena merasa tidak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anaknya. Rasa ini membuat mereka semakin tertekan, meski sebenarnya sudah berjuang sekuat tenaga.