Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

101 Tips Menggarap Cerita Pendek

20 Mei 2020   09:09 Diperbarui: 20 Mei 2020   16:42 1350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Fathromi Ramdlon dari Pixabay

Hai, Kompasianer!

Apa kabar? Semoga sehat selalu!

Kali ini saya akan membahas beberapa unsur intrinsik dalam cerpen, yaitu tokoh dan penokohan, sudut pandang, latar, alur serta konflik. Namun ketimbang untuk membantu Kompasianer mengenali unsur-unsur ini dalam cerpen-cerpen orang lain, artikel ini lebih ditujukan untuk membantu Kompasianer menggarap cerpen sendiri. 

Karenanya, saya juga telah menuliskan tips-tips yang dapat diaplikasikan untuk mempermudah maupun memberikan variasi dalam proses penulisan cerpen.

Jadi, jika Kompasianer ingin mulai menulis cerpen, Kompasianer berada di artikel yang tepat. Artikel ini juga ditujukan untuk adik-adik yang sedang belajar cara menulis cerpen dan mengenal unsur-unsur intrinsiknya di sekolah!

Selamat membaca!

1. Tokoh 

Ada beberapa tips yang perlu diingat ketika menciptakan tokoh-tokoh dalam cerpen:

a. Jangan Terpaku Membuat atau Mencari Nama Tokoh

Jika Kompasianer berhasil langsung membuat nama tokoh tanpa perlu banyak berpikir, maka kegiatan mencari nama tokoh ini tidak akan menganggu proses pembuatan cerpen.

Namun, terkadang, pencarian nama ini berlarut-larut dan menghambat proses penulisan karya. Hal ini memang sederhana, namun cukup menyebalkan (terlebih jika Kompasianer sedang memiliki banyak ide plot cerita dan ingin segera menuangkannya dalam cerpen). 

Dulu saya seringkali kebingungan ketika menentukan nama untuk tokoh utama cerpen. Mencari inspirasi melalui website-website “arti nama” memang cukup membantu, namun tetap saja banyak waktu yang terbuang.

Jika Kompasianer mengalami kendala yang sama dengan saya, maka ada beberapa jalan keluar yang bisa Kompasianer coba. Saya membagi poin-poin saran ini menjadi dua kategori skenario.

Skenario 1: Jika Kompasianer tidak terlalu memiliki kriteria untuk nama tokoh (namun tentunya ingin cerpen Kompasianer tetap menarik), maka berikut ini adalah saran-saran saya:

- Gunakan Kata Ganti dan Sebutan sebagai Subtituen Nama

Gunakan “aku”/ “saya”, “kamu”, “dia”, “Si Perempuan” dan seterusnya. Dengan kata lain, jangan gunakan nama sama sekali. Menurut saya pribadi, solusi pertama ini sangat mudah dilakukan, namun dampaknya luar biasa. Cerpen terasa lebih deep dan unik.

Buku kumpulan cerpen Rectoverso (karya Dewi Lestari) adalah salah satu karya tulis yang sama sekali tidak ada nama tokohnya.

Sebagai gantinya, penulis menggunakan kata ganti orang pertama, kedua, ketiga, dan sebutan-sebutan lain (misalnya: “Abang” dan “Bunda” dalam cerpen Malaikat Juga Tahu) sebagai identitas para tokoh.

- Gunakan Satu Nama yang Sama Setiap Menulis Cerpen

Jika Kompasianer pernah membuat cerpen sebelumnya, tidak ada salahnya untuk menggunakan nama tokoh dari cerpen tersebut untuk cerpen yang sedang Kompasianer garap. Tidak ada salahnya menggunakan satu nama yang sama secara berulang-ulang ketika menulis cerpen yang berbeda. 

Jangan khawatir, pemberian nama yang sama kepada tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen berbeda sama sekali tidak memberikan kesan monoton, justru menunjang ciri khas si penulis.

Bahkan, jika digarap dengan baik, penggunaan nama tokoh yang berulang-ulang dapat menjadi bagian dari konsep kuat dunia rekaan penulis.

Karya yang dapat dijadikan acuan adalah cerpen-cerpen yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu. Beliau kerap menggunakan satu nama yang sama, yaitu “Nay” untuk menamai karakter-karakter utamanya.

Skenario 2: Kompasianer ingin membuat cerpen yang sarat akan metafora atau petunjuk-petunjuk makna yang bertebaran di mana-mana, dan setiap tokohnya merepresentasikan sesuatu yang lain, maka gunakan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan metafora yang Kompasianer kehendaki sebagai nama tokoh.

Misalnya, jika tokoh rekaan Kompasianer adalah wujud manusia dari tanah air (dengan kata lain, Kompasianer “memanusiakan” tanah air), maka tokoh ini dapat diberi nama Pertiwi (dari Ibu Pertiwi), dan seterusnya.

Jika Kompasianer telah merampungkan cerpen dan menerapkan usulan- usulan di atas namun tiba-tiba Kompasianer mendapatkan ide nama tokoh yang lebih baik? Ya cukup diganti seluruhnya saja dengan fitur “replace” yang ada di Microsoft Word. Keuntungannya justru berkali-kali lipat, cerpen selesai, nama tokoh pas, dan tidak ada waktu yang terbuang sia-sia.

b. Tokoh Tidak Harus Manusia

Ketika menciptakan tokoh dalam cerpen, jangan selalu membayangkan seorang manusia. Bebaskan pikiran dan lihatlah sekitar. Apa saja bisa menjadi tokoh cerpen, baik itu hewan, tumbuhan, bahkan benda mati. Pahami baik-baik bahwa cerpen karangan Kompasianer sepenuhnya berada di bawah kendali Kompasianer. 

Misalnya Kompasianer merasa bahwa dalam dunia Kompasianer, matahari dapat berbicara dan merasa, maka tulislah demikian. Jadikan matahari sebagai tokoh dalam cerpen.

Jika Kompasianer suka apabila tokoh-tokoh manusia dan tokoh-tokoh hewan dapat bercakap, maka tulislah demikian.

Saya ingat pernah membaca sebuah cerpen di Majalah Hai tentang kisah permasalahan sepasang manusia (suami istri) dalam sebuah rumah, di mana seluruh kejadian dalam cerpen tersebut dilihat dari sudut pandang seekor kecoak.

Cerpen itu sangat menarik dan ada element of surprise-nya karena pembaca baru mengetahui bahwa narator dari cerpen tersebut adalah kecoak di akhir cerpen. 

Bisa dibilang itu adalah cerpen terunik yang pernah saya baca saat itu (saya masih SMP atau baru duduk di bangku SMA saat itu).

Waktu itu saya senang sekali karena sebuah majalah remaja memuat cerpen seunik itu, sangat membuka mata bagi penikmat-penikmat cerpen pemula berusia remaja.

Bisa dilihat di sini bahwa ternyata ada alternatif ending cerpen yang menarik selain plot twist, yaitu element of surprise tadi. Sayang sekali saya tidak ingat siapa nama penulisnya karena sudah lama sekali. Jika Kompasianer tahu penulisnya, silakan menulisnya di kolom komentar, ya.

2. Penokohan

Penokohan adalah gambaran atau watak dari para tokoh dalam cerpen. Watak seorang tokoh dapat ditunjukkan melalui dialog, monolog, deskripsi gamblang dari penulis, dan lain sebagainya.

Tidak masalah untuk tidak menjelaskan sepenuhnya watak tokoh di awal cerpen. Me-reveal-nya pelan-pelan (secara tersirat) seiring dengan berjalannya alur juga menyenangkan!

Misalnya, tokoh utama cerpen Kompasianer yang selalu digambarkan manis dan baik hati dari awal hingga pertengahan alur, ternyata sadis karena ia seorang psikopat, dan hal tersebut baru “dibuka” di akhir kisah.

3. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah bagaimana penulis menempatkan diri dalam kisahnya (apakah sebagai bagian dari kisahnya atau bukan). Sudut pandang terbagi menjadi sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang ketiga.

a. Sudut Pandang Orang Pertama

Jika menggunakan sudut pandang ini, maka seluruh kejadian dalam cerpen adalah pengalaman atau buah penglihatan tokoh “aku” semata. Jangan menambahkan informasi-informasi yang tidak dilihat atau dialami si “aku”.

Meski dilihat dari sudut pandang “aku”, namun Kompasianer tidak perlu selalu memperkenalkan di awal siapa tokoh “aku” ini. Agar cerpen lebih menarik dan variatif, tipsnya, jangan pernah berpikir bahwa cerpen yang menggunakan sudut pandang ini harus selalu dimulai dengan, “Hai namaku… dan aku adalah seorang siswi SMP di sekolah… Aku tinggal bersama keluargaku… (dan seterusnya)”.

Ketahuilah bahwa bahkan pemilihan sudut pandang pun dapat dijadikan strategi untuk membuat sebuah cerpen jadi menarik. Kembali saya ingatkan, ada jenis cerita yang bernama unreliable narrator (pengisah lancung), yang penjelasannya dapat dibaca di sini.

Jika Kompasianer menggunakan konsep tersebut, cerpen sudut pandang orang pertama Kompasianer bisa berkali-kali lipat lebih menarik.

Sudut pandang orang pertama ini dibagi menjadi sudut pandang orang pertama (tokoh pertama) dan sudut pandang orang pertama (tokoh sampingan). Penggunaan keduanya sesuai dengan namanya.

Jika sebuah cerpen menceritakan kisah yang berfokus pada tokoh “aku”-nya, maka dapat dikatakan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama (tokoh utama), dan jika tokoh “aku” dalam sebuah cerpen hanya sebagai saksi dari rentetan kejadian yang dialami tokoh lainnya, maka cerpen tersebut menggunakan sudut pandang orang pertama (tokoh sampingan).

Berikut ini kutipan cerpen Kelepak Sayap Jibril (karya Agus Noor) yang menggunakan sudut pandang orang pertama:

“Aku tengah duduk di kafe di sebuah mall membunuh kejenuhan dengan secangkir cappuccino ketika sayup-sayup berdesir bunyi kelepak, lembut di telinga. Aku mendongak, melihat bayangan langit pada kubah kaca yang dipenuhi pohon-pohon kurma dan unta dengan kafilah di punggungnya, bergelantungan di besi-besi konstruksi yang dicat warna-warni. Kulihat unta-unta itu bergoyangan, bagai ada tangan yang menyentuhnya.”

Bisa dilihat bahwa cerpen tersebut menggunakan kata “aku” sebagai kata rujukan. Perhatikan cara penulis menggambarkan keadaannya: “aku tengah duduk…”, “… sayup-sayup berdesir bunyi kelepak, lembut di telinga”, “aku mendongak, melihat…”, dan “kulihat…”. Semua hal yang terjadi adalah hal-hal yang benar-benar dialami, didengar, dan dilihat si “aku”.

b. Sudut Pandang Orang Ketiga 

Ketika menggunakan sudut pandang orang ketiga dalam cerpen, pastikan kata rujukan yang digunakan adalah nama tokoh, “dia”, “si perempuan”, atau sebutan-sebutan lainnya. Bisa dikatakan si penulis berada “di luar” kisahnya, maka jangan gunakan “aku”. 

Ada dua jenis sudut pandang orang ketiga, yaitu sudut pandang orang ketiga (serba tahu), di mana di penulis tahu betul tokoh-tokohnya (hingga watak dan perasaan mereka), dan sudut pandang orang ketiga (pengamat), di mana si penulis hanya mengandalkan kemampuan pancaindra untuk menggambarkan apapun yang terjadi dalam kisah terkait.

Berikut ini kutipan cerpen Sebutir Nasi untuk Pencuri (karya Agus Noor), yang menggunakan sudut pandang orang ketiga:

”Ini hari baik buat mencuri. Ia sudah menghitung tanggal, membaca sifat dan watak hari pasaran serta weton-nya. Menambah, mengalikan dan membagi tanggal-tanggal itu, hingga sebagaimana dalam primbon, ketemu angka yang memperlihatkan hari keberuntungannya. Sebagai pencuri, ia memang percaya hari baik seperti itu. Hari yang akan memberinya keselamatan dan ketenangan ketika mencuri. Setidaknya, dengan memercayai perhitungan hari baik seperti itu, ia menjadi berhati-hati ketika memutuskan kapan ia mesti mencuri. Hingga bertahun-tahun menjadi pencuri, syukur alhamdulillah, semuanya lancar-lancar dan baik-baik saja saja.”

Dalam cerpen tersebut, terlihat si penulis tahu betul berbagai hal mengenai tokoh utama. Perhatikan kata-kata: “Ia sudah menghitung…”, “ia memang percaya…” dan seterusnya. Si penulis terlihat tahu isi kepala tokoh utama.

4. Latar (Tempat dan Waktu)

Kompasianer memiliki hak penuh untuk mengimajinasikan di mana dan kapan rentetan peristiwa dalam cerpen terjadi. Jika Kompasianer suka cerpen-cerpen realis, deskriptif, bahkan ber-setting historikal, tentunya latar tempat dan waktu harus konkret.

Pastikan pembaca yang dituju dapat membayangkan di mana lokasi para tokoh, seperti apa suasananya pada masa itu, dan lain-lain.

Jangan lupa perhatikan detail-detail kecil, misalnya ketika Kompasianer merasa perlu mendeskripsikan pakaian tokoh, pastikan pakaian tersebut sesuai dengan latar waktu dan tempatnya.

Jika Kompasianer lebih suka latar tempat dan waktu yang sepenuhunya khayalan, silakan mencipta negeri dongeng dalam cerpen Kompasianer.

Biar begitu, jangan pernah mengkotak-kotakan latar ini menjadi “berdasarkan kenyataan” dan “khayalan”, karena Kompasianer jauh lebih bebas dari itu dalam berkarya. Kompasianer bahkan bisa memadukan latar tempat khayalan dan latar waktu yang nyata.

Misalnya, Kompasianer membuat cerpen science fiction tentang seorang ilmuwan yang diam-diam telah menemukan mesin waktu pada tahun 1800, dan pergi ke tahun 2030.

Untuk cerpen semacam itu, pastikan tetap memperhatikan detail-detail nyata tahun 1800-an agar ada kontras pensuasanaan yang jelas antara tahun 1800 dan 2030.  

Jika Kompasianer merasa bahwa konsep tempat dan waktu memiliki makna yang lebih luas dalam cerpen Kompasianer (karena, anggaplah Kompasianer sedang membuat cerpen eksperimental tentang perjalanan batin seseorang), silakan saja untuk mendeskripsikan tempat dan waktu ini sesuai dengan impresi yang ingin Kompasianer sampaikan kepada pembaca.

Tempat yang terasa begitu asing namun berada tepat di dalam kepala seseorang dan konsep waktu yang tidak lagi dikenali oleh orang tersebut? Mengapa tidak?

5. Alur

Alur adalah rentetan kisah dalam cerpen. Biasanya, alur terdiri dari lima tahap, yaitu tahap perkenalan, tahap penanjakan, tahap klimaks, anti klimaks, dan tahap penyelesaian.

Ada dua jenis alur, yaitu alur maju (rentetan kisah yang berjalan ke depan) dan alur mundur (rentetan cerita yang berjalan ke belakang). Silakan menyusun unsur-unsur dalam alur sedemikian rupa.

Sesuaikan saja dengan konsep dan strategi Kompasianer. Jangan ragu-ragu untuk me-reveal suatu hal dasar di ending jika itu memang yang Kompasianer inginkan.

Silakan cek cerita pendek An Occurrence at Owl Creek Bridge karya Ambrose Bierce. Karya tersebut merupakan contoh sempurna untuk menggambarkan permainan alur yang cerdas.

Dimulai dari konflik yang dialami Peyton Farquhar (sang tokoh utama) di masa sekarang, dilanjutkan dengan flashback (alur mundur) yang berisi latar belakang kehidupan Farquhar, dan diakhiri dengan kembali ke kondisi masa kini, namun kali ini ditambah sebuah revealing yang plot twist. Ya, pokoknya, bermain-mainlah sebanyak-banyaknya dengan alur.

6. Konflik

Konflik dalam cerpen merupakan unsur krusial dari sebuah karya. Saya rasa banyak dari Kompasianer yang justru ingin mulai menggarap cerpen karena memiliki ide konflik. Karenanya, menurut saya tidak terlalu ada masalah dalam menentukan konflik sebuah cerpen.

Tidak banyak tips yang ingin saya sampaikan di sini selain, Kompasianer tidak perlu selalu menyelesaikan konflik cerpen hingga tuntas.

Silakan saja membuat cerpen dengan ending “menggantung” dan mempersilakan pembaca untuk menentukan sendiri akhir kisahnya. Seringkali, kisah-kisah dengan akhir menggantung justru meninggalkan kesan yang tidak terlupakan bagi pembaca.

-

Semua hal yang ingin saya sampaikan hari ini telah saya bahas. Untuk mengakhiri pembahasan hari ini, tips paling penting, jangan lupa untuk banyak membaca.

Jika Kompasianer memiliki pengetahuan tentang sejarah misalnya, Kompasianer bisa mencipta tokoh rekaan yang hidup di suatu masa dan peristiwa nyata dalam sejarah untuk cerpen Kompasianer.

Biar begitu, membaca adalah hal yang harus selalu dilakukan dalam hidup, bahkan meski Kompasianer sedang tidak ingin membuat cerpen. Baca sebanyak mungkin buku. Jangan berpatok pada satu jenis buku. Miliki pengetahuan yang seluas-luasnya!

-

Terima kasih sudah membaca artikel ini sampai sini. Semoga bermanfaat. Kedepannya, saya berencana untuk menulis lebih banyak lagi artikel-artikel edukatif terkait fiksi dan bahasa. Untuk membaca artikel-artikel edukatif yang pernah saya tulis di Kompasiana, silakan cek daftar link di bawah ini.

Jika ada topik edukatif yang belum saya bahas dan sekiranya bagus untuk dibahas di sini, silakan menuliskannya di kolom komentar. Kritik terhadap artikel ini maupun tips-tips khusus lainnya dalam menulis cerpen juga dapat dituliskan di kolom komentar.

Sampai bertemu lagi. 😊

-L

-

Baca juga:

Artikel Edukatif Seputar Fiksi dan Bahasa

Review Film 

Fiksi
Jamuan Melahap Matahari
-
Kontak
surrealiv@gmail.com
Instagram.com/livilivilivilivilivi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun