Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi Prosa| Tenun untuk Mempelai

3 Agustus 2019   08:20 Diperbarui: 5 Agustus 2019   04:52 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tenun Sumba (Instagram @Titi_kamall)

Aku merajut namamu dalam benang benang terindah, dari semua yang dapat kukenang. Sarungmu  berurai puluhan, ratus-ribuan, bahkan tak terhitung dalam ejaan angka, yang berkali sulit direntang.

"Pahikung harus selesai ketika Ia  menjemputmu", begitu ayah mengingatkanku.

Bulan resah terhuyung dan kadang bersegera ketika aku terusik akan wajahmu yang tak pernah kukenal,  yang datang dan hilang bagai lolokamba bersimpul ikat tanpa tepi, yang hanya kutandai dengan surut dan pasang.

Matahari jadi saksi dengar alunan alat tenun yang berderak oleh tanganku, yang kadang cepat, kadang lambat, dan kadang terhenti oleh benang yang retas. Semua berburu dalam tuntutan dan waktu. 

Aku bergerak dalam harap cemas, mengeja hari yang singgah sebentar - lalu lama pergi melayang.

Berapa kali purnama datang, dan Pahikungmu harus siap ketika kau datang menjemputku. 

Hari ini kerabatmu datang tak kunjung henti.  Ada semua laki laki di sini, disambut kakek, ayah, kakak, dan lokaku. "Akan berapat", kata ayah. 

Namun, tak kulihat kamu. 

Laki laki masih terus pergi dan datang, berulang hitung dan tawar, sebutkankan kata setuju, lalu pulang.   

Katanya, semua adalah atas namamu dan namaku.

"Pannu Walli. Sudah ada kata sepakat. Segerakan Pahikung. Waramba akan menjemputmu jadi istri akhir bulan ini.  Pastikan indah tanpa cela. Ia akan kenakan dengan Tiara atau Tamelingu", kata ayah berkata tak putus dan panjang.

Dadaku berdegup cepat, kulitku pun ikut berdenyut. Diakah laki lakiku?

Dan di pekat malam, angin sabana mengejek gerakku yang berkali terhenti karena tanganku penat menata gulungan helai benang yang kusut menggelang. 

Kupercepat kerjaku, kuserasikan gerak irama yang makin cepat,  tak ijinkan beri barang sedikit waktu untuk aku paham apa itu kata dan rasa rindu.

"Besok ayah akan jemput delapan babi. Empat untuk hidangan. Dan empat jadi kawan Pahikungnya", ayah berkata bagai memberi pengumuman padaku. 

Kurang sepekan waktuku, ketika kutepati janji. Akhirnya tenun Pahikung indigo biru itu bisa kuletakkan di atas nampan rotan beranyaman.  

Dengan rasa dan harapan yang tak kupahami, tenun indah itu kusentuh dengan jari jariku. 

Akupun hanyut dalam lamunan siang yang panjang. 

Kau akan menjemputku, Waramba, dan aku akan jadi belahan jiwamu. 

Banyak laki laki berdatangan minggu lalu dan kemarin, berkata berkalimat lebar panjang.

Mereka duduk melingkar mengunyah sirih pinang, memecah bincang dengan suara gumam ketika derap kaki kuda dan kerbau datang bergemuruh membawa terbang debu.  

Empat kuda dan delapan kerbau, betina jantan sudah kuhitung. Tiada bercacat, sama gagah, sama cantik, sama tinggi. "Mahal belis untukmu. Tinggi hargamu", kata Ayah dengan senyum mengembang. 

Dadaku senang. Meski tak paham apa itu belis yang mahal, dan aku hanya berharap apa yang kau kirim sepadan dengan tenun yang kubuat berbulan untukmu.

Lalu laki laki lain berdatangan membawa Mamoli, Laluamah, pedang dan juga parang.

Dan, tiba hari yang kutunggu. Di antara degub jantungku dan rasaku yang mengharu, ada hentakan tetabuhan bertalu bersama genderang.

Kutahu kau akan hadir di depanku.

Kikuk malu aku menunggu bersama para perempuan yang ramai menggodaku sambil sibuk menata berulang panganan yang sebetulnya sudah rapi, siap  dihidangkan.

Dan anganku pergi bermain bersama mimpiku, "Bukankah aku kan jadi sang Ratu rindumu?"

Lelah mataku tak berkedip, ingin pastikan kau lihat tenun Pahikung indah rapi yang dibawa para hamba di atas nampan berjenjang.

"Lihatlah itu!", bisik hatiku " Itu kutenun dalam cinta dan namamu, dan dengan helai helai benang penuh gulungan rasa hatiku berminggu bulan".

Jantungkupun bagai melompat ke  ujung kakiku,  ketika ayah berkata bahwa kau hadir ada di antara puluhan laki laki yang duduk bersimpuh di antara sirih pinang dan tembakau. 

Hidangan babi diedarkan, dan moke minuman para lelaki disulang.  

Tapi pesta tak kunjung usai, meski tembakau dan sirih pinang telah hampir habis dihidangkan.

Jantungku yang sudah ada di ujung kaki serasa berhenti, ketika ayahku memanggilku dalam nama lengkapku.

"Kau siap?", tanya Mama yang selalu diam, dalam pelan nyaris tak terdengar. Ada air bening di matanya tergenang.

Akupun dinaikkan ke atas kuda. Mama pasangkan padaku hiasan gading di atas kepala, sambil memintaku rapalkan syair tentang nenek moyang yang ia selalu ulang dan ajarkan padaku.

Sepanjang perjalanan aku merapal. Meski untuk bait bait usang yang hanya kukenal dalam kenangan.

Di belakangku, para hamba berjalan kaki menggandeng empat babi dan menyunggi Pahikung indah yang kubuat untukmu.

Perjalanan sungguh membuat lelah, naik tiga bukit berkelok hingga enam kali menurun.

Ketika kulihat Uma besar beratap tinggi, tahulah aku, kita telah tiba. Banyak perempuan muda dan tua menyambutku dalam puji dan puja juga senyum terkembang.

Dan, para hamba letakkan tenunmu di atas Reti batu kubur, untuk mereka serahkan itu kepada Mamamu dengan disaksikan leluhurmu.

Aku berharap melihatmu dalam balutan tenunmu, namun harus bersabar tanpa tahu kapan berakhirnya upacara panjang.  

Saat itu tiba tanpa tanda,  kamu meraihku. 

Malam itu bulan temaram memucat, sabana menggelap, bintang kehilangan pijarnya, dan aku terdorong tersesat dalam bau kayu cendana, sirih pinang dan tembakaumu yang menyengat. Malam serupa datang berkali ulang.

Siang hariku hanyalah terik yang panas melelahkan, ketika aku bersama para hamba mengangsu air di balik bukit dan menyungginya pulang. Sementara, anak anak perempuan turun naik bukit sabana menghalau puluhan kerbaumu. 

Dalam matahari yang hampir turun petang, kami semua, perempuan perempuan terhuyung penat berjalan pulang.

Kusiapkan makan malam untuk tigapuluh satu orang anak, yang aku selalu gagal ingat semua namanya. Kata perempuan perempuan itu, mereka adalah anak anak dan cucumu. 

Setahun berlalu dan aku masih di Uma besar, tanpa aku pernah lihat tenun Pahikung buatanku kau kenakan.  

Aku bertanya kepada Mamaku yang mampir ke Uma minggu lalu "Di mana kain yang kutenun dengan namanya?"

"Entahlah. Tenun itu milik keluarga barumu. Mungkin ada di ayah mertuamu, mungkin jadi milik lokamu", jawab mama pelan.

Aku bertanya lagi kepada Mama "Lalu, di mana sapi sapi dan kuda kuda yang katanya diberikan kepadaku?"

Mama menjawab pelan "Sapi sapi dan kuda kuda itu milik kakekmu. Milik pamanmu. Milik kakak laki lakimu. Milik lokamu"

Aku terhenyak tak rela. Aku berlari cepat kearah perempuan perempuan di Uma besar. Kutanya di mana kain Pahikung yang kutenun dengan namamu. Perempuan perempuan itu berkata, "Lupakan tenunmu. Lupakan seperti kami lupakan tenun yang kami buat untuknya, sebelum kau datang".

Gemetar aku mencari tahu, dan tak seorangpun tunjukkan iba. "Salahkah bila kuterus menaut harap rindu pada Pahikung yang kutenun untukmu, wahai Waramba, mempelaiku? Ataukah aku harus seperti perempuan perempuan yang membuang semua akal ingatan, dan tepekur ikuti gerak matahari dan bulan?".

Kata perempuan perempuan itu padaku, "Engkau hanyalah perempuan. Pada akhirnya kau adalah hamba. Engkau adalah Ata. Seperti kami juga!. Kain tenunmu itu hanya satu dari begitu banyak tenun lain yang diterima Waramba. Ia adalah raja. Kita adalah miliknya. Sekarang, jangan tanya lagi, kembalilah kau bekerja".

Aku diam, tanpa lagi ada bingung. Kata Ayah nilaiku tinggi, tapi aku hanya limbung meraung.

=========================

Ata = budak

Belis = mas kawin

Hamba = budak, strata terendah di kalangan orang Sumba

Pahikung = tenun panjang dipakai laki laki  

Tamelingu = tudung kepala 

Tiara = ikat kepala 

Lolokamba = benang 

Waramba = raja, kepala suku, strata tertinggi di kalangan orang Sumba

Loka = saudara dan keluarga laki laki

Mamoli = perhiasan semacam anting emas

Laluamah = tali yg dianyam dari kawat monel, perlambang tali kuda

*) Puisi Prosa lama yang saya unggah - mengekor Kompasianer Felix Tani karena lelah politik dan lelah Jakarta. Juga lelah otak? hahah🤫

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun