Gerimis petang itu bagai salju menghias langkahmu. Titian bergoyang yang membuatmu gemetar. Di sini, pertama kali kita beradu pandang. Desir air sungai terekam nyata di hati.
Engkau melirik, kerlingku mengikut. Buku apa yang kamu pegang erat kala itu. Aku hanya menduga itu sebuah novel.
"Boleh nanya, inikah jembatan ke dusun Lumbanrihit?"
Anggukan wajah manismu begitu santun meski bibirmu mengatup. Tapi kerling mata itu telah mewakili ucap katamu yang tertunda. Jerit kecilmu penanda takutmu saat titian senggol bergoyang.
Dan buku saku di tanganmu jatuh ke lantai titian yang keropos. Kamu tersenyum jenaka bukumu kupungut lalu kuberikan padamu. Nafas Perempuan Motinggo Busye.
"Mauliate...", ucapmu sangat perlahan nyaris ditelan gemerisik air di bawah jembatan.
*
- Mau kemana
+ Ke kota
- Sendiri?
- Yalah. Kan saya lagi sendiri
Kamu tertawa. Baris gigi putihmu seputih gading gajah Muangthai.
- Aku juga sendiri...
+ Siapa bilang ada dua...
Tawa kecilmu jaminan bagiku kalau engkau gadis santun
Kita berpisah ketika gerimis tak kunjung reda
Satu saat akan ada lagi pertemuan
Tetapi ia tak sendiri lagi
Sang lelaki kurus bertopi koboi menggandeng tangannya menuruni tanggul sungai
Lambaian tanganmu menandai pertemuan kedua tak pernah lagi berulang
Untung benih cinta belum ada di dalam hati