"Maaf?" ulang Opa Hilarius, tertawa getir.
"Kaupikir maaf dapat membereskan segalanya?"
Ayah Calvin tertunduk. Jiwanya dirajam penyesalan. Sesal ini seakan tak ada ujungnya.
"Maafkan aku, Pa. Maafkan aku."
Nafas Opa Hilarius cepat dan pendek-pendek. Ia melangkah berat memutari lobi. Berusaha mengatur emosi yang berlomba ingin diledakkan. Desakan memarahi menantunya seperti granat yang siap meledak kapan saja.
"Kau mencemari pernikahanmu sendiri! Jangan minta maaf padaku! Minta maaflah pada Tuhan, istri dan putrimu!"
"Aku akan segera minta maaf pada mereka, Pa."
Janji Ayah Calvin disahuti dengusan sinis. Opa Hilarius terlanjur skeptis. Reaksi negatif yang ditampakkan sang ayah sukses membikin hati pria Desember itu teriris.
"Tujuh tahun kautelantarkan Manda dan Silvi. Puluhan cinta Manda tolak demi menunggumu. Hampir tiap hari Silvi menanyakan Ayahnya." Opa Hilarius melanjutkan, nada suaranya turun dua oktaf.
"Aku mau saja berpura-pura jadi ayah Silvi. Tapi, aku sudah terlalu tua. Silvi bisa curiga. Tak ingin kusakiti perasaan cucuku semata wayang."
Ombak penyesalan mengobrak-abrik hati Ayah Calvin. Meninggalkan istri dan anak selama tujuh tahun, sungguh dosa besar. Berjibaku mengurusi anggota keluarga yang sakit membuat skala prioritas Ayah Calvin luruh.Â