Tubuh Ayah Calvin merosot ke aspal. Matanya setengah terpejam. Telah sia-siakah ia berusaha selama ini? Well, belum bisa dikatakan usaha yang panjang. Belum juga sebulan ia memulai lembaran baru.
Lembaran baru? Entah tinta warna apa yang diteteskan Bunda Manda ke lembaran satu ini. Yang jelas, hati Ayah Calvin kelam luar biasa.
Ayah Calvin berontak. Dia sedih dan marah. Bunda Manda bermain tarik ulur perasaan.
Mengapa dirinya tak dianggap?
Mengapa mata hati Bunda Manda belum terbuka?
Belum cukupkah semua yang dia lakukan selama beberapa minggu terakhir untuk menebus momen yang hilang?
Rentetan pertanyaan bagai melecehkan Ayah Calvin. Masih terlalu banyak momen yang mesti ditebusnya. Tak dinyana, pecah hatinya saat Bunda Manda meniupkan desas-desus bila sang suami telah berpulang.
Tidak. Ayah Calvin belum pergi. Dia masih di sini. Separah itukah kesalahan yang telah dia perbuat? Apakah mengabaikan anak dan istri selama tujuh tahun benar-benar tak termaafkan? Terlalu, mungkin kata yang lekat dengan salah satu pedangdut senior itu yang pantas disematkan padanya.
Semula Ayah Calvin senang. Senang lantaran istrinya takkan lagi mendapatkan bantuan keranjang solidaritas. Itu berarti, dia punya peluang besar untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami yang baik. Nafkah Silvi dan Bunda Manda berada dalam list tanggung jawabnya.
Tapi...
Kesenangan itu memudar seiring kebohongan Bunda Manda. Suaminya telah meninggal dunia. Hoax, tidak benar, berita palsu!