Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Lepaskan Harapanmu

23 Agustus 2017   06:10 Diperbarui: 23 Agustus 2017   21:13 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Rein...bangun, Sayang. Sudah pagi. Ayo kita shalat."

Dengan lembut, Tuan Calvin membangunkan Reinhart. Anak lelaki berparas tampan itu bergumam kecil dalam tidurnya. Tanpa sadar menyentuh tangan Tuan Calvin.

"Bentar lagi Papi."

Senyuman tak dapat ditahannya. Reinhart memanggilnya Papi?

Sekali lagi, Tuan Calvin mencoba membangunkan Reinhart. Tetap lembut dan sabar. Reinhart sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Sebaliknya, Reinhart menganggap Tuan Calvin sebagai Papi kedua.

Akhirnya Reinhart terbangun. Ia keheranan menatap selimut yang menutupi tubuhnya. Seingatnya, ia tidur tanpa selimut. Lantas...

"Om Calvin yang selimutin Rein ya?" tebaknya.

"Iya, Sayang. Semalam Reinhart kelihatannya kedinginan."

Reinhart mengangguk paham. Matanya setengah terpejam, bersiap tidur lagi. Namun Tuan Calvin buru-buru mencegahnya.

"Eits, jangan tidur lagi. Sudah Subuh. Kita shalat berjamaah ya?"

"Iya."

Seperempat jam kemudian, mereka memulai shalat. Cukup di mushala kecil di antara balkon dan perpustakaan. Tuan Calvin menjadi Imam. Clara dan Reinhart menjadi makmum. Khusyuk menunaikan shalat di tengah rasa dingin yang tersisa. Meski masih kecil, Clara dan Reinhart punya kesadaran dan semangat beribadah yang bagus.

Usai shalat, Tuan Calvin membawa Reinhart kembali ke kamarnya. Membantunya mandi dan berpakaian. Menyiapkan buku-buku dan peralatan sekolahnya. Memastikan Reinhart telah mengerjakan semua PR-nya dengan benar.

Tuan Calvin menikmati perannya. Sudah beberapa hari Reinhart menginap di rumahnya. Praktis ia harus mengurus dua anak. Satu anak laki-laki, satu anak perempuan. Bukannya kesusahan, Tuan Calvin justru senang. Inilah yang diharapkannya. Mengurus anak lelaki dan perempuan, mengajari mereka, dan melewatkan waktu bersama mereka.

Setelah semuanya siap, Reinhart dan Tuan Calvin turun ke lantai bawah. Menuruni satu demi satu anak tangga, Reinhart tak hentinya bicara. Ia mengaku senang tinggal di sini. Ia serasa memiliki keluarga lengkap. Ayah yang selalu ada, juga anak perempuan seusianya yang dianggap sebagai teman sekaligus saudara. Sama seperti Clara, Reinhart juga anak tunggal.

"Lho, di rumah kan ada Papi Wahyu." Tuan Calvin tersenyum kecil menanggapi cerita Reinhart.

"Papi jarang di rumah. Pagi-pagi udah pergi, trus pulangnya malam. Papi sering naik pesawat. Baru pulang beberapa hari kemudian. Kata Bi Salma, Papi sibuk."

Ya, Wahyu mempunyai kesibukan yang cukup padat. Sering kali ia melakukan perjalanan bisnis. Alhasil waktunya untuk keluarga berkurang. Sampai-sampai Reinhart curhat seperti itu pada Tuan Calvin.

Tiba di ruang makan, Clara telah menunggu. Nasi goreng omelet dan susu coklat tersaji di meja. Mereka bertiga sarapan bersama. Mulai terbiasa dengan rutinitas itu. Bangku yang biasa ditempati Nyonya Calisa kini jadi tempat Reinhart.

Harus berbagi perhatian dan kasih sayang Ayahnya tak membuat Clara cemburu. Ia mau berbagi dengan Reinhart. Clara tetaplah Clara. Selalu manja pada Tuan Calvin walau sebenarnya ia telah mandiri.

"Suapin, Ayah. Sekali...aja." pinta Clara.

Tanpa ragu, Tuan Calvin menyuapi Clara. Si gadis kecil menerima suapan Ayahnya, mengunyah dan menelan makanannya dengan senang.

"Nasi goreng omeletnya enak ya, Ayah." komentar Clara.

Dari sudut mata, Reinhart mengerling mereka. Clara dan Tuan Calvin sangat dekat. Mesra sebagai ayah dan anak. Tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, mereka selalu bersama. Clara memiliki Tuan Calvin seutuhnya. Kontras dengan Reinhart yang hanya bisa memiliki Papinya di akhir pekan.

Perubahan raut wajah Reinhart tertangkap jelas oleh Tuan Calvin. Ia mengembalikan sendok ke tangan Clara.

"Clara Sayang, makan sendiri lagi ya?" ujarnya.

"Iya, Ayah."

Sejurus kemudian Tuan Calvin mengalihkan perhatiannya pada Reinhart. Lembut menanyai anak laki-laki pemenang coverboy itu.

"Rein kenapa? Ingat Papi, ya?"

"Coba aja Papi kayak Om Calvin ya. Selalu ada, nggak pergi jauh-jauh, mau anterin Rein sekolah, mau suapin Rein, mau bantu Rein bikin PR."

"Papi jarang punya waktu di rumah demi Rein juga. Papi kan kerja, Sayang. Uangnya buat siapa? Buat Rein juga." jelas Tuan Calvin sabar.

"Om Calvin juga kerja. Uangnya juga banyak. Tapi punya waktu buat Clara."

"Pekerjaannya beda, Rein."

"Kenapa Papi nggak kerja kayak Om Calvin aja? Biar waktunya banyak, uangnya juga banyak."

Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi anak seperti Reinhart. Mungkin orang tua lain akan dibuat kerepotan menghadapi Reinhart. Tidak bagi Tuan Calvin. Kesabarannya begitu besar. Ia tak pernah marah pada anak kecil. Vonis mandul yang menimpanya membuat pria berdarah keturunan itu lebih menghargai anak-anak. Tuan Calvin selalu geram dan tak habis pikir tiap kali membaca berita atau menyaksikan orang tua yang menyia-nyiakan anaknya. Sebab ia pernah merasakan betapa tertekannya hidup tanpa anak.

**     

Rush silver itu melaju dari exit Tol Padalarang. Kota Baru Parahyangan, itulah tujuannya. Tuan Calvin duduk di balik kemudi. Menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang. Reinhart di sampingnya. Sibuk membuka-buka buku pelajaran.

"Hari ini ulangan Matematika," Tanpa diminta, Reinhart bercerita.

"Rein suka Matematika?"

"Nggak."

Sepanjang perjalanan, mereka saling bicara. Layaknya ayah dengan anak kandung. Reinhart rileks saja mengungkapkan ketidaksukaannya mempelajari Matematika. Tuan Calvin mendengarkan dengan sabar. Tanpa merasa jemu, tanpa menyela, tanpa menghakimi. Ia memotivasi Reinhart agar menyukai semua pelajaran. Secara tak langsung, Reinhart termotivasi. Ia selalu mendengarkan apa kata Papi keduanya itu.

Lagu di audioplayer berganti. Kali ini terdengar alunan suara bariton milik seorang penyanyi yang terkenal setelah mengikuti ajang pencarian bakat bertahun-tahun lalu. Sebuah lagu lama yang representatif dengan perasaan Tuan Calvin.

Kaulihat aku di sini seutuhnya

Sendiri merasa bahagia karenamu

Setelah air mata

Kehilangan dan juga kecewa

Kini hanya satu yang kupercaya

Kau membuatku bahagia

Jika ini memang saatnya

Mimpiku akan menjadi nyata

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi indah pada waktunya

Hadirmu semangat jiwaku karenamu

Kelembutan cintamu semua jawaban yang kudambakan

Kini hanya satu yang kupercaya

Kau membuatku bahagia

Jika memang ini saatnya

Mimpiku akan menjadi nyata

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi indah pada waktunya

Takkan ada kata-kata

Yang mampu lukiskan perasaanku saat ini

Jika memang ini saatnya

Mimpiku akan menjadi nyata

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi indah

Jika memang ini saatnya

Mimpiku akan menjadi nyata

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi indah pada waktunya

Semua akan menjadi indah pada waktunya (Delon ft Irene-Indah Pada Waktunya).

Semua akan menjadi indah pada waktunya. Tuan Calvin meyakini itu. Ia telah membuktikannya. Bertahun-tahun lamanya ia depresi dan kesepian karena tidak memiliki anak. Tekanan yang dialami pria saat tidak bisa meneruskan keturunan jauh lebih besar dibandingkan wanita. Pria dituntut untuk meneruskan garis keturunan.

Sejak awal, Tuan Calvin telah divonis mandul. Tak hanya oleh satu dokter. Melainkan puluhan dokter yang didatanginya untuk konsultasi. Berbagai pengobatan sudah dijalani. Tak satu pun berhasil. Tuan Calvin tak lelah berusaha dan berdoa. Ia berdoa agar diberikan kesempatan untuk memiliki anak.

Kini doanya terkabul. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang cantik dan pintar. Bahkan ia dipercaya mengurus seorang anak laki-laki, walau hanya sementara. Semua indah pada waktunya. Pada waktu yang telah dijanjikan Allah, Tuan Calvin mempunyai anak. Anak hadir dengan berbagai cara. Meski tidak terikat secara biologis, ternyata ikatan batin dan kasih sayang jauh lebih erat.

Gerbang Al Irsyad Satya Islamic School semakin dekat. Itulah sekolah Reinhart. Tuan Calvin mengantar Reinhart sampai ke kelas. Mengundang tatapan-tatapan kagum dari para murid dan guru wanita. Calvin Wan yang tampan, fatherly, dan charming telah merebut hati banyak wanita di sini. Mereka mengira Tuan Calvinlah ayah kandung Reinhart.

Kembali ke mobilnya, Tuan Calvin merasakan sepercik bahagia. Begini rasanya mempunyai anak laki-laki. Sama menyenangkannya seperti mempunyai anak perempuan. Dulu, Tuan Calvin berharap punya anak perempuan. Keinginannya tercapai. Praktis ia hanya punya pengalaman mengurus anak perempuan. Baru kali pertama ia merawat anak laki-laki.

Kehadiran Reinhart tak membuat Tuan Calvin melupakan prioritas utamanya. Segera saja ia kembali ke rumah. Menyelesaikan pekerjaan, menulis artikel, lalu mempostingnya. Lalu mengajarkan materi-materi pelajaran pada Clara.

Sibuk dengan aktivitasnya, Tuan Calvin selalu berkomunikasi dengan Nyonya Calisa. Video call rutin dilakukan. Rindu sedikit terobati dengan kecanggihan teknologi. Tuan Calvin tak puas-puas menatap wajah cantik istrinya. Nyonya Calisa nampak semakin anggun dalam balutan kaftan. Mungkinkah Nyonya Calisa berencana kembali berhijab? Entahlah, Tuan Calvin tak ingin memaksa. Ia menghargai apa pun keputusan wanita blasterannya itu.

Clara rindu Bundanya. Tak jarang ia sendiri yang mengirimkan voice note pada sang Bunda. Apa pun ia lakukan demi menuntaskan rindu. Berulang kali Clara bertanya waktu kepulangan Nyonya Calisa. Meski berjauhan, ketiga anggota keluarga itu tetap mesra.

**       

Dering ponsel membangunkan Tuan Calvin. Sejenak mencari, ternyata ponselnya tertimpa tubuhnya sendiri. Apakah smartphone itu rusak? Ternyata tidak.

Ada beberapa notifikasi. Facebook, Whatsapp, Twitter, dan Linkedin. Ia buka semuanya. Tertegun membaca chat dari Wahyu.

"Aku sudah kembali ke Bandung. Sekarang aku di depan rumahmu, tapi aku tak berani masuk. Masih terlalu pagi."

Diliriknya jam digital. Pukul empat lewat sepuluh menit. Sudah hampir Subuh. Refleks Tuan Calvin menepuk dahinya. Ia lupa shalat Tahajud.

Tergesa ia bangkit dari ranjang. Keluar kamar, lalu bergegas turun ke halaman. Membuka pintu gerbang. Dilihatnya Wahyu berdiri di samping mobilnya. Berpakaian rapi dan memegang travel bag.

"Hei...kamu pulang lebih cepat?" Tuan Calvin menyapa ramah.

"Yups. Aku kangen Rein, Clara, dan kamu." balas Wahyu.

"Nggak kangen Calisa?"

"Iyalah. Jangan khawatir...Calisa kuanggap adik perempuanku."

Beberapa bulan ke belakang, mungkin takkan ada yang menyangka kalau Wahyu dan Tuan Calvin bisa seakrab ini. Seakan mereka sahabat lama. Seakan tak ada kompetisi cinta di antara mereka.

Keduanya melangkah memasuki rumah. Wahyu sibuk membuka notifikasi Facebook dari tabnya.

"Calvin, sudah lihat posting yang viral itu?" tanya Wahyu tiba-tiba.

Tanpa menunggu jawaban, ditunjukkannya tab itu. Tuan Calvin membaca postingan yang dimaksud. Berikut foto di dalamnya.

"Seorang bapak dan dua putrinya? Bapak itu menjadi pemulung sambil membawa kedua anaknya. Kasihan sekali mereka..." Tuan Calvin berkomentar. Tak tega melihat foto pria kurus dengan kaki yang mengecil dan tidak sehat itu.

"Iya, kasihan. Sekarang postingan ini jadi viral."

Hati Tuan Calvin trenyuh. Masih terbayang di benaknya potret pemulung dan kedua anaknya itu. Tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu.

"Bagaimana kalau kita bantu mereka?" usul Tuan Calvin.

"Boleh. Tapi kita check dulu." Wahyu menyambut positif.

Tepat pada saat itu, masuk request Skype dari Nyonya Calisa.

"Calvin, coba buka Facebook." Itulah kkalimat pertama yang diucapkan Nyonya Calisa.

"Aku sudah tahu, Calisa."

"Tidakkah kamu ingin membantunya? Kasihan mereka." bujuk Nyonya Calisa halus.

"Aku akan membantunya, Calisa." janji Tuan Calvin.

Wajah Nyonya Calisa berangsur cerah. "Oh Calvin, kamu memang bisa diharapkan."

**      

Tatapannya terarah pada foto itu. Tersentuh memperhatikan dua anak perempuan di dalam foto. Anak-anak yang tidak terawat dengan baik. Masa kecil mereka terpaksa terlewati di jalanan. Entah mereka bisa bersekolah atau tidak.

Terbersit niat di hati Tuan Calvin untuk menjadi ayah angkat bagi kedua anak itu. Mengajak mereka tinggal di rumahnya, menyekolahkannya, merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Ia harus segera mengeceknya. Lebih cepat lebih baik.

"Tulisanmu sudah selesai, Calvin?"

Diiringi sebuah pertanyaan, Wahyu melangkah masuk ke ruang kerja. Melempar pandang penasaran ke layar laptop.

"Belum, Wahyu. Sedikit lagi. Pokoknya setelah tulisan ini diposting, kita langsung cek ke lokasinya." sahut Tuan Calvin tanpa mengalihkan pandang dari layar laptopnya.

Wahyu mengiyakan saja. Duduk di sisi Tuan Calvin. Ia baru saja mengantar Reinhart ke sekolah. Mengambil kembali tanggung jawabnya.

Ia tersadar. Wajah Tuan Calvin sangat pucat. Tapi ia begitu berkonsentrasi menulis artikelnya. Bertekad menyelesaikannya secepat mungkin, lalu membantu pemulung dan dua anaknya itu.

"Calvin, kamu sakit?" tanya Wahyu cemas.

"Tidak. Aku sehat." Tuan Calvin berkilah. Mempercepat gerakan tangannya. Tinggal dua paragraf lagi.

"Hentikan kalau kamu merasa sakit, Calvin. Jangan dipaksakan."

Wahyu benar. Kondisi Tuan Calvin drop pagi ini. Namun ia memaksakan diri untuk menulis. Sudah sering terjadi. Calvin Wan, blogger yang produktif karena program one day one article, harus membayar mahal konsistensinya dengan rasa sakit. Kondisi kesehatannya sering kali drop.

Artikel itu selesai. Tuan Calvin mempostingnya. Kini saatnya mengecek ke lokasi.

"Nah, selesai. Aku bisa, kan? Kamu tidak perlu khawatir." Tuan Calvin menatap Wahyu, tersenyum puas.

"Kamu kuat...kamu hebat." Wahyu melempar pujian.

Benarkah Tuan Calvin sekuat itu? Nyatanya, ia merasakan sakit sedetik kemudian. Bukan hanya perutnya, sakit itu juga menyerang bagian dadanya. Apa yang dikhawatirkan Wahyu terjadi.

"Calvin, kita ke rumah sakit ya?" Wahyu berujar cemas. Meraih kunci mobilnya. Memapah Tuan Calvin meninggalkan ruang kerja.

Apa jadinya bila Wahyu tak ada di sana? Mungkin keadaan bisa lebih parah lagi.

**    

Di luar sana, langit berselimut awan Cumolonimbus. Hujan deras mengguyur kota. Hujan ini begitu muram dan sendu. Merepresentasikan suasana hati Tuan Calvin.

Ia kembali terbaring di rumah sakit. Kondisi kesehatannya menurun. Kanker hati datang di saat yang tidak tepat. Sebuah kabar buruk lagi datang menghampiri. Hasil pemeriksaan terakhir menunjukkan sel-sel kanker telah bermetastasis ke paru-parunya.

Terpukul? Tentu saja. Seiring berjalannya waktu, kanker ini semakin ganas. Tuan Calvin harus menggunakan ventilator. Betapa mahalnya kesehatan. Betapa berharganya oksigen dan kesempatan untuk bernafas dengan normal.

"Be strong, Calvin. Ini hanya sementara. Kamu pasti akan sembuh." ucap Wahyu menguatkan.

Tuan Calvin menatap hampa langit-langit kamar rumah sakit. Kini sistem pernafasannya pun digerogoti kanker. Apa lagi yang harus terampas gegara Hepatocelullar carcinoma?

"Wahyu, aku tidak mau hidup dengan alat bantu pernafasan dan alat pacu detak jantung." lirih Tuan Calvin.

"Why? Apa yang salah dengan peralatan medis penunjang kehidupan?" tanya Wahyu sehati-hati mungkin.

"That's not life."

Satu kalimat. Ya, satu kalimat saja. Diucapkan dengan penuh keputusasaan dan kesedihan. Bagi Tuan Calvin, memakai alat-alat medis sebagai penunjang kehidupan bukanlah cara hidup yang baik. Ia tak mau melakukannya.

"Aku pilih home care saja."

"Jangan, Calvin. Tetaplah jalani perawatan di sini. Bersabarlah sedikit lagi, kamu pasti akan sembuh. Aku akan segera melakukan tes kecocokan hati."

Tes kecocokan hati? Transplantasi hati? Masihkah ada gunanya?

Tuan Calvin berada di puncak kesedihan dan frustasi. Penyakitnya tak juga menemukan titik kesembuhan. Kanker hati telah menghancurkan separuh hidupnya. Menghilangkan kesempatannya untuk melanjutkan keturunan, menghambat fungsi sebagian besar organ tubuhnya, dan menghalanginya berbuat kebaikan. Seketika ia teringat Nyonya Calisa. Gegara masuk rumah sakit, Tuan Calvin tak bisa mengecek ke lokasi. Ia sudah mengecewakan Nyonya Calisa.

"Aku sudah mengecewakan Calisa..." Tuan Calvin berbisik, kesedihan menyelimuti hatinya.

"Seharusnya aku bisa mengecek ke lokasi. Hanya 30 kilometer dari sini, apa artinya jarak yang jauh demi menolong orang lain? Aku gagal membantu ayah dan anak yang tidak berdaya itu."

Sungguh, Tuan Calvin merasa bersalah. Ia merasa dirinya tak berguna.

"Kamu sudah membantu, Calvin. Lihat ini." Seraya berkata begitu, Wahyu menunjukkan tabnya.

"Tulisanmu di media citizen journalism dibaca ribuan orang. Bahkan masuk jajaran nilai tertinggi dan terpopuler. Come on, Calvin Wan. Kamu sudah banyak membantu."

Ditatapinya layar tab itu setengah tak percaya. Benarkah begitu? Ia harus membuktikan satu hal.

Berharap Nyonya Calisa sudah selesai dengan ritual ibadah dan doa, Tuan Calvin menghubunginya. Video call seperti biasa. Sesuai harapan, Nyonya Calisa langsung menerimanya.

"Calisa, maafkan aku..." Hanya itu yang bisa diucapkan Tuan Calvin.

"Tidak apa-apa, Calvin. Aku sudah tahu semuanya. Kamu sudah banyak membantu. Tenang ya...? Jangan khawatir." Nyonya Calisa berkata lembut.

"Aku menyesal, Calisa. Kamu tahu apa kata dokter tadi?"

"Iya, aku tahu. Jangan menyesalinya, Calvin. Kamu masih punya harapan. So, jangan lepaskan harapanmu."

Jangan lepaskan harapanmu. Kata-kata terakhir Nyonya Calisa melekat di hatinya yang terdalam.

"Kamu pasti sembuh, Calvin. Bertahanlah...jangan berhenti berdoa dan berusaha."

Nyonya Calisa menguatkannya dari kejauhan. Memotivasinya dengan tulus. Tuan Calvin merenungkan semua perkataan istrinya.

"Di sini tak ada piano. Sayang sekali. Kalau ada, aku ingin menyanyikan lagu untukmu. Tunggu sebentar, aku mau kirim sesuatu."

Video call diakhiri. Tak lama, Nyonya Calisa mengirimkan sebuah video. Saat dibuka, ternyata isinya cover lagu.

Suara sopran Nyonya Calisa terdengar lembut dan merdu diiringi alunan piano.

Ku telah kehilangan jejak kakimu

Entah kemanakah dirimu yang dulu selalu mencintai

Melekatnya hati di antara kita berdua

Jejak canda tawa tangis kita

Tak akan pernah hilang janji-janji kita

Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini

Tak kulepas semua mimpi indah kita

Walau itu semua pudar

Seperti ini hanyalah mimpi

Ku tak tahu apa yang terjadi

Seperti mimpi yang tak pernah kuharap

Kini berakhir tak seperti yang kumau

Memulai bersama hingga maut memisahkan kita

Tak akan pernah hilang janji-janji kita

Tiada kata akhir untuk pintu harapan ini

Tak kulepas semua mimpi indah kita

Walau itu semua pudar

Bagai debu yang tersebar

Hanya diam meratapi mimpi (Isyana Sarasvati-Mimpi).

Untaian demi untaian lirik lagu menyentuh hatinya. Tak ada kata akhir untuk harapan. Masih ada harapan. Masih ada keyakinan akan kesembuhan.

**     

Tergerakkah hati kalian untuk membantu pemulung dan kedua anak perempuannya itu? Mereka memerlukan uluran tangan, pertolongan, cinta, dan kasih kita. Mereka hidup dalam kekurangan dan penderitaan. Akankah kita tega melihat penderitaan mereka?

Salam,

Hanya sekedar berbagi

Calvin Wan berbagi

Artikel yang ditulis dalam keadaan sakit itu segera mendapat ratusan tanggapan. Para pembaca tersentuh karenanya. Calvin Wan telah membagikan sesuatu yang membangkitkan rasa empati.

**     

Isyana Sarasvati - Mimpi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun