Pendahuluan
Bali tidak hanya memesona lewat keindahan alam dan tarian, tetapi juga melalui warisan seni rupa yang mengandung nilai filosofi mendalam. Salah satu warisan tersebut adalah seni lukis wayang kaca, yang masih lestari di Desa Nagasepaha, Kecamatan Buleleng, Bali Utara. Di tengah derasnya arus perubahan zaman, para seniman desa ini terus mempertahankan tradisi seni kaca yang diwariskan secara turun-temurun. Keunikan teknik, makna simbolik, dan dedikasi generasi penerus menjadikan karya kaca ini sebagai bagian hidup budaya Bali yang memantulkan kilau sejarah dan identitas.
Melalui artikel ini, kita akan menyelami sejarah, teknik, tokoh, hingga tantangan dan harapan ke depan bagi seni lukis wayang kaca dengan protagonis utama, Wayan Arnawa, sebagai penjaga tradisi masa kini.
Sejarah dan Asal-usul Wayang Kaca Nagasepaha
Lahirnya Seni Lukis Kaca
Seni lukis wayang kaca di Nagasepaha diperkirakan muncul pada tahun 1927 di masa penjajahan. Karya ini lahir dari tangan kreatif Jro Dalang Diah (lahir 1909) yang selama ini dikenal sebagai maestro wayang kulit di kawasan Buleleng
Kisah bermula ketika seorang pecinta seni dari desa, I Ketut Nitia, membawa lukisan kaca bergaya Jepang yang menggambarkan seorang wanita mengenakan kimono. Nitia meminta agar Diah membuat versi wayang dari karya tersebut. Meski awalnya enggan, Diah kemudian menerima tantangan tersebut dan mulai bereksperimen.
Eksperimen itu tidak mudah: Diah harus mencari jenis tinta, cat, dan teknik pewarnaan yang bisa menempel dengan baik di kaca. Ia mencoba berbagai kombinasi, mulai dari jelaga, tinta Cina, hingga cat kayu, sebelum menemukan formula yang pas.
Karya pertamanya berjudul “Arjuna Wiwaha”, yang memuat unsur kebatinan dan kisah heroik dari epik Mahabharata. Karya ini menjadi tonggak awal berkembangnya seni lukis kaca di Nagasepaha
Pewarisan Seni dan Garis Keturunan
Setelah berhasil menciptakan tekniknya sendiri, Jro Dalang Diah mulai mewariskannya secara lisan dan praktik kepada anak, cucu, serta warga sekitar