Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Idealisme Cebok: Mengapa Bule Pakai Tisu Toilet?

8 Januari 2022   04:55 Diperbarui: 8 Januari 2022   04:58 4056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idealisme Cebok: Kering dan Basah Tidak Akan Pernah Ketemu (tribunnews.com)

Kalau soal idealisme, bisa saja ada titik temu. Tapi, kalau soal toilet, timur dan barat tidak akan pernah bisa bersatu.

Bagi penulis sebagai orang Indonesia, cebok harus pakai air. Sisa-sisa butiran kecoklatan pada anus rasanya tidak akan pernah bisa bersih jika tidak disiram. Tapi, tidak bagi bule. Cukup lap dengan tisu, semuanya beres.

Seorang kawan Amerika pernah berkata jika toilet di Indonesia itu jorok. Sebabnya sanitasi yang bersih seharusnya kering. Sementara bidek seringkali menimbulkan genangan air pada lantai. Menjadi tempat yang cocok bagi kuman bertumbuh.

Idealisme berasal dari budaya. Air di belahan bumi utara itu dingin. Bahkan jika pada musim panas. Tentu rasanya sakit jika terkena bagian dalam anus. Jadilah cebok cukup dilap saja.

Tapi, orang bule sendiri tidak menggunakan tisu pada awalnya. Bangsa Romawi kuno yang dulunya paling beradab pun menggunakan tongkat yang berujung sponge (busa). Setelah cebok, dicelupkanlah ke dalam sebuah wadah berisi cuka.

Penggunaan toilet paper sendiri pertama kali diperkenalkan oleh bangsa China. Persisnya pada abad ke-6. Tidak heran, karena penemu kertas adalah mereka. (Chai Lun, tahun 105 Masehi)

Sebelumnya agi orang kaya menggunakan kain dari wol yang sekaligus digunakan untuk mengelap badan untuk mandi. Kaum jelatanya sendiri menggunakan apa saja. Mulai dari kulit jagung, daun kering, hingga kulit binatang.

Di Amerika sendiri, tisu toilet baru beredar pada tahun 1857. Jauh sebelumnya, para nenek moyang Yankees ini menggunakan tongkol jagung. Lantas mereka beralih ke kain dan kertas apa saja. Dari bekas-bekas kalendar atau pembungkus.

Sementara masyarakat Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa Selatan, Timur tengah dan beberapa di Afrika aman. Sejak dulu mereka telah menggunakan air untuk cebok.

Lantas apa yang terjadi?

Ibunda selalu mempermasalahkan itu. Baginya, bule itu sangat menjijikkan. Ketika Rika (adik penulis) menikah dengan Andrew, seorang pria Amerika, ibunda hanya mengingatkan Rika untuk mengajar suaminya cebok dengan benar.

Ibunda punya analogi yang keren. Cobalah ambil krim coklat dan lemparkan ke tanah. Ambillah tisu dan bersihkan. Pasti masih ada sisa-sisanya.

Tapi, Andrew punya alasannya sendiri. Lebih jijik rasanya jika berjalan dengan pantat yang basah. Nah, lho.

**

Namun, di tengah arus globalisasi sepertinya para penghuni "negara maju" ini sudah mulai sadar diri.

Rose George, seorang jurnalis asal Inggris yang kini bermukim di New York, AS mengatakan;

"Saya bingung dengan jutaan orang yang berjalan-jalan dengan anus kotor sambil berpikir bahwa mereka bersih," ungkapnya dikutip dari sumber (detik.com).

Lebih lanjut penulis buku The Big Neccesity: The Unmentionable World of Huan Waste and Why It Matters, ini berkata:

"Anda tidak akan bersih jika mandi dengan handuk kering, bagaimana bisa tisu kering bisa membersihkan sisa-sisa kotoran?"

Amerika adalah negara bebas. Konon para imigran-lah yang membentuk budaya di sana. Amerika tidak memiliki kemurniannya, namun terbangun dari keragaman.

Dengan demikian ragam budaya seharusnya bisa teradopsi dengan baik. Nyatanya, kalau soal cebok, tidak.

Dilansir dari sumber (bbc.com), Bassem Yousef seorang komedian Mesir mengatakan bahwa sulit memahami (Amerika) sebagai negara yang paling maju di dunia, tapi sangat terbelakang dengan urusan "ke belakang."

Ia mengaku jika kemana-mana harus membawa selang semprot portabel yang dikenal dengan nama Shataff. Menurutnya, itu sama pentingnya dengan tunai dan paspor.

Bagi Yousef yang muslim, air memang ada hubungannya dengan kotoran (BAB dan BAK). Di Turki, fatwa telah dikeluarkan sejak 2015. Isinya, haram hukumnya jika cebok pakai kertas. Kecuali air memang tidak tersedia.

Tapi, hal yang sama juga terjadi bagi warga non-muslim. Masih dari bbc, Astha Garg, seorang ilmuwan dari Mumbai telah bekerja di San Fransisco selama dua tahunan ketika ia mendapatkan alat cebok portabel tradisional India atau "Bath Mug."

Dibelinya pun pada toko khusus barang-barang India. Baginya, sebagian kawan-kawannya memilih untuk beradaptasi. Namun, tidak bagi Astha dan sebagian lagi.

"Orang Amerika sudah merasa nyaman dengan tisu toilet, jangan harap banyak peralatan yang tersedia untuk penganut paham cebok air. Apalagi di toilet umum," pungkas Astha.

Nampaknya orang Amerika memang sangat susah diubah. Pemahaman "jijik"-nya berbeda. Sebagaimana Andrew yang merasa kotor gegara pantat basah. Padahal jika mau dipikir, tisu toilet bisa berfungsi untuk mengelap pantat, bukan? Entahlah.

Menurut penulis, Andrew sudah terkontaminasi paham kapitalis. Mungkin saja cebok air dianggap primitif, karena berasosiasi dengan negara dunia ketiga.

Tapi, faktor kapitalisme sebenarnya berasal dari aksi korporasi. Produsen tisu kertas adalah mereka yang secara agresif mendorong pemakaian kertas toilet sejak abad ke-20. Lewat iklan dan kampanye.

Bahkan, hingga tahun 70an orang Inggris pun tidak mempercayai tisu buatan produsen Amerika yang mereka anggap terlalu tipis. Produsen di sana telah berhasil menghipnotis warganya untuk menggunakan produksi Inggris yang lebih tebal. Apa bedanya?

Yang pasti, penulis masih teringat bagaimana seorang tamu Amerika yang merasa tersinggung disuguhkan tisu rol sehabis makan. Padahal tisu, ya tisu. Lebih bersih dari pantat yang belum dicuci.

Hingga datanglah Corona...

Panic Buying namanya, toilet paper hilang dari pasaran, pabrik tisu kepayahan. Untuk itu, jalan keluar harus dicari.

Penjualan bidet atau selang air toilet pun laku. Namun, dilansir dari Business Insider, masalah utamanya sudah bukan lagi soal idealisme. Tapi, soal pengetahuan.

Ternyata orang Amerika tidak melihat adanya alternatif lain untuk cebok karena kebiasaan yang sudah mandarah daging.

"Saya bingung dengan cara pakai bidet. Apakah bagi wanita harus disemprot dari depan atau belakang" unggah salah seorang netizen pada twitter @Tech Insider.

Apa Bahaya Cebok dengan Tisu?

Yang pertama tentunya masih menyisakan kotoran pada anus. Kuman dan bakteri yang tidak dibasmi hingga tuntas bisa menimbulkan penyakit. Dari iritasi ringan pada kulit, infeksi organ pencernaan, hingga mungkin kanker.

Kedua, bekas tisu yang dibuang ke dalam kloset akan menimbulkan potensi tersumbatnya saluran air. Jika sudah demikian, air kotor bisa merembes kemana-mana.

Ketiga, menimbulkan sampah yang tidak perlu. Beban bumi sudah berat. Dilansir dari sumber (detik.com), dalam setahun, setiap orang dewasa bisa menghasilkan 145 kilogram tinja.

Namun ini tidak masalah. Tuhan memang adil. Tinja yang diproduksi bisa berguna untuk pupuk tanaman. Tapi, bukan tisu ceboknya.

Hingga akhirnya, idealisme cebok dengan air memang lebih masuk akal daripada tisu.

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun