Ketika kita mendengar kata governance, sering kali yang terbayang adalah tata kelola pemerintahan atau sekadar aturan kepatuhan yang bersifat administratif. Namun, menurut OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises (2021), governance jauh lebih luas dari sekadar regulasi. OECD memandang governance sebagai kerangka hubungan antara pemilik (dalam konteks BUMN berarti negara dan masyarakat), manajemen, dewan direksi, hingga para pemangku kepentingan lain yang berinteraksi dalam mengelola perusahaan. Dengan kata lain, governance bukan hanya soal "aturan main" di atas kertas, melainkan mekanisme nyata yang menentukan bagaimana perusahaan mengambil keputusan, bagaimana akuntabilitas dijalankan, serta bagaimana transparansi dijaga.
Dalam pandangan OECD, governance yang sehat harus mampu menciptakan level playing field. Artinya, BUMN tidak boleh mendapatkan perlakuan istimewa yang merugikan kompetitor swasta, sebaliknya mereka dituntut untuk bersaing secara adil dengan tetap memegang mandat pelayanan publik. Aspek fairness di sini lebih menekankan pada keadilan antar pelaku pasar, bukan langsung keadilan sosial bagi masyarakat luas. Di titik inilah governance ala OECD menunjukkan karakternya: fokus pada penciptaan efisiensi, daya saing, dan akuntabilitas, agar BUMN tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat atau praktik koruptif.
Meski demikian, kerangka OECD tetap relevan dalam konteks Indonesia. Dengan BUMN yang menguasai sektor-sektor strategis, governance berfungsi sebagai pagar etis agar pengelolaan aset publik dilakukan secara profesional dan transparan. Namun, jika kita hanya berhenti pada definisi OECD, dimensi keadilan sosial yang menjadi amanat konstitusi Indonesia berpotensi terpinggirkan. Karena itu, penting untuk memahami bahwa governance menurut OECD merupakan fondasi penting---tapi bukan akhir dari cerita. Ia perlu diperkaya dengan perspektif lokal tentang keadilan, pemerataan manfaat, serta keberlanjutan.
Dengan memahami governance versi OECD, kita bisa melihat bahwa tata kelola bukan hanya soal kepatuhan formal. Ia adalah cermin bagaimana kekuasaan, kepemilikan, dan tanggung jawab dipraktikkan sehari-hari. Tantangannya bagi kita adalah menghubungkan kerangka internasional ini dengan nilai-nilai yang lebih kontekstual, sehingga governance tidak berhenti pada kertas, tetapi benar-benar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI