"Bli apaan sih?" Andara berteriak sewot. Devandra tersenyum tipis, sorot matanya menggoda gadis manis yang sekarang tidak sedang manis. Mukanya ditekuk, bibirnya mengerucut persis kayak ikan mas koki. Lucu! Bikin gemas, persis Amerta kalau lagi ngambek. Sang pujan hati, yang memutuskan mengambil S2nya ke Singapura. Ah, jadi makin kangen. Jerit hatinya. Please Devan, fokus pada urusan Andara. Adikmu butuh kamu! Kata hatinya menyadarkannya dari lamunan.
   "Yakin enggak ada rasa untuk dia?" Andara mendongak, menatap manik mata Devandra yang sempat meredup.
   "Dia itu siapa?' tanya Andara ragu.
   "Bli percaya, kamu tahu jawabannya." Andara menunduk. Mencerna ucapan Devandra sebelumnya. Siapa yang Bli Devandra maksud?
   Kemarin, Sena terlihat berbeda. Ada yang tidak dapat Andara mengerti dari sikap acuh sahabatnya itu. Mungkinkah Sena cemburu? Kalau benar, seharusnya Andara suka. Itu artinya Sena memiliki perasaan yang sama, yang pernah dia miliki. Untuk apa, perasaan mereka tidak boleh bersama. Lampu merah sudah menyala, dan akan tetap menyala sampai kapan pun, kecuali terjadi keajaiban. Abimanyu, diakah?
Â
   "Dia terlalu tinggi Bli. Kami beda, sangat berbeda." Desah Andara tidak percaya diri.
   "Semua manusia diciptakan berbeda, Geg. Karena Tuhan mau, yang berbeda itu saling melengkapi. Saling menutupi kekurangan dari kelebihan masing-masing. Kamu melengkapi dia, dia melengkapi kamu. Kamu hanya belum menemukan caranya. Dia sudah melangkah, bahkan berlari melaksanakan tugasnya. Tinggal kamu yang membuka hati. Jangan berkecil hati. Bli bangga mempunyai adik seperti kamu, pandanganmu luas. Langkah kakimu lebar, tidak hanya berkutat dengan kepentingan sendiri. Hanya orang sehebat dia yang bisa mengimbangi kehebatanmu." Andara terhenyak. Perlahan perkataan Devandra mengikis ketidakpercayaan dirinya. Namun Andara harus meyakinkan diri agar tidak salah.
   "Bli yakin dia sungguh-sungguh?" Devandra mengangguk pasti. Andara menghela napas lega, semoga keputusannya tidak salah.
   "Sini!" Andara menghambur ke dalam pelukan hangat Devandra. Laki-laki itu mengelus rambutnya lembut. Andara merasa beruntung mempunyai mereka yang mencintainya.
   "Sudah jangan lama-lama, kasihan yang menunggu di depan," bisik Devandra lembut. Tubuh Andara menegang, Devandra menepuk pundaknya sekali lagi. Sebelum mendorong tubuh mungil itu menjauh.
   "Sudah sana, jemput pangeranmu. Jangan sampai dia berubah pikiran karena kelamaan menunggu!" Mata Devandra mengerling jenaka. Andara masih belum yakin dengan pendengarannya. Maklum sudah lama tidak ke dokter THT.
   "Jadi, tamu tadi?" Â