Mohon tunggu...
Kinanthi Cahya Pratiwi
Kinanthi Cahya Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Paradigma Islam dan Politik

Paradigma Islam dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradigma Hubungan Islam dan Politik di Indonesia serta Etika Berpolitik dalam Al Quran dan Hadits

23 September 2021   00:25 Diperbarui: 23 September 2021   03:19 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Banyak pahlawan terkenal seperti ulama (cendekiawan Muslim) yang tidak hanya memikirkan dan memimpin masyarakat dalam spiritual atau keagamaan saja, tetapi juga menjadi pemimpin pasukan melawan kolonialisme. 

Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah (didirikan pada tahun 1912), Persis (1920), dan Nahdatul Ulama (1926) adalah kantong-kantong utama para pejuang melawan Belanda dan pendudukan Jepang. Singkatnya, baik Muslim maupun Ormas Islam memiliki peran penting dalam mendirikan Indonesia. 

Dengan munculnya Muhammadiyah, Persis dan NU, interpretasi Islam juga berbeda dalam apa yang disebut "modernis" dan kelompok arus utama "tradisionalis".

Menurut Burhanuddin, untuk kelompok modernis, seperti Muhammadiyah dan Persis, untuk memahami dan mengamalkan Islam, mereka mengikuti metode salaf yang mengutamakan nash-nash Islam (Qur'an dan Hadist). Pemikiran Ibnu Taimiyah dipahami di dalamnya makna literal dalam aspek teologis dan ritualnya. 

Ciri-ciri penting lainnya kelompok ini cenderung puritan dalam model keagamaan dan menolak faktor budaya dalam praktik keagamaan. Literalistik dan rasionalistik khas Muhammadiyah dan Persis. 

Adapun kelompok tradisionalis terutama mengacu pada NU, tradisi yang dipegang teguh yang didirikan oleh ulama pada masa awal Islam. Tradisi dimaksudkan untuk menjembatani komunitas Muslim dan teks-teks Islam. 

Dengan demikian, perbedaan kelompok modernis dan tradisionalis tidak hanya terletak pada pandangan mereka tentang agama, tetapi juga orientasi pada budaya.

Ada beberapa elemen yang mendasari perbedaan politik perilaku NU dan Masyumi. Pertama, kedua belah pihak cenderung melihat diri mereka sebagai pesaing langsung untuk konstituen Muslim dan keduanya memperebutkan kendali Departemen Agama dengan peluang patronase yang menguntungkan dan kapasitas untuk mempengaruhi kegiatan Islam di tingkat akar rumput. 

Akhirnya, NU cenderung mengadopsi lebih ke pendekatan politik yang pragmatis dan akomodatif daripada yang dilakukan Masyumi. NU menggunakan politik sebagai alat untuk mengamankan atau melindungi kepentingan bagiannya, terutama akses ke patronase pemerintah dan birokrasi agama prihatin. 

Dalam mengejar kepentingan tersebut, fleksibilitas, moderasi, dan kapasitas untuk berkompromi menjadi penentu ciri perilaku NU. Masyumi, sebaliknya, menekankan keteguhan dan konsistensi dalam pendekatan mereka terhadap politik.

Mereka enggan untuk berkompromi pada hal-hal inti kebijakan dan sering mengutip ayat-ayat dari Al-Qur'an dan hadits yang memerintahkan ketabahan dan komitmen terhadap apa yang dianggap benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun