OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 16: Persiapan Perang
Beberapa hari setelah gugurnya Indrayana, suasana istana Syailendra perlahan berubah. Dari kesedihan, lahir semangat baru. Pancapana, kini resmi menjadi menantu Prabu Smarattungga, mulai memimpin persiapan besar untuk menghadapi Panangkaran.
Balairung istana dipenuhi para panglima dan prajurit. Peta kerajaan dibentangkan di atas meja batu. Pancapana berdiri tegak, sorot matanya tajam. Di sampingnya, Pramudawardhani mendampingi dengan tenang, sementara Candradewi duduk di sudut, wajahnya masih murung namun penuh tekad.
"Panangkaran tidak akan tinggal diam," ujar Pancapana lantang. "Ia sudah mengirim pembunuh untuk menjatuhkanku. Jika kita menunggu, ia akan menyerang dengan kekuatan penuh. Karena itu, kita harus mendahului dengan persiapan matang."
Seorang panglima maju, menunduk hormat. "Pasukan Syailendra siap, Paduka. Kami memiliki seribu prajurit berkuda, dua ribu infanteri, dan balatentara pemanah dari perbukitan. Namun Mataram di bawah Panangkaran masih lebih kuat."
Prabu Smarattungga menambahkan, "Itulah sebabnya kita harus mengandalkan strategi, bukan hanya jumlah pasukan. Pancapana, aku ingin kau memimpin barisan depan. Anggaplah ini ujian pertama sebagai ksatria dan menantuku."
Pancapana menunduk hormat. "Dengan segenap jiwa raga, aku terima amanat ini."
Malam harinya, Pancapana duduk sendiri di serambi, menatap bulan yang menggantung. Candradewi menghampiri, membawa kendi air.
"Pancapana," katanya lirih, "Indrayana pasti bangga melihatmu sekarang. Tapi aku mohon... jangan biarkan dendam membutakanmu."
Pancapana tersenyum tipis. "Aku berjuang bukan lagi untuk dendam, Candradewi. Aku berjuang untuk rakyat, untuk masa depan negeri ini. Dan untuk menepati janji pada sahabat kita."
Candradewi terdiam, lalu menunduk. Air matanya jatuh, namun kali ini bukan karena lemah, melainkan karena haru.
Di kejauhan, genderang perang mulai dipukul sebagai tanda latihan. Api unggun membara di barak-barak prajurit, semangat mereka bangkit. Syailendra bersiap menyongsong badai.
Dan di Mataram, Panangkaran yang mendengar kabar persiapan itu hanya tersenyum sinis. "Baiklah, Pancapana. Jika kau ingin merebut kembali tahta ayahmu, datanglah. Aku akan menunggumu di medan laga."
Bersambung ke Bagian 17
Catatan Penulis:
Kisah ini memadukan sejarah dan imajinasi. Beberapa tokoh dan peristiwa diambil dari catatan sejarah, namun banyak pula unsur fiksi yang ditambahkan demi kepentingan sastra. Cerbung ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan sejarah, melainkan sebagai upaya menghadirkan nilai moral tentang persahabatan, cinta, dan perjuangan menegakkan kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI