Pancapana tersenyum tipis. "Aku berjuang bukan lagi untuk dendam, Candradewi. Aku berjuang untuk rakyat, untuk masa depan negeri ini. Dan untuk menepati janji pada sahabat kita."
Candradewi terdiam, lalu menunduk. Air matanya jatuh, namun kali ini bukan karena lemah, melainkan karena haru.
Di kejauhan, genderang perang mulai dipukul sebagai tanda latihan. Api unggun membara di barak-barak prajurit, semangat mereka bangkit. Syailendra bersiap menyongsong badai.
Dan di Mataram, Panangkaran yang mendengar kabar persiapan itu hanya tersenyum sinis. "Baiklah, Pancapana. Jika kau ingin merebut kembali tahta ayahmu, datanglah. Aku akan menunggumu di medan laga."
Bersambung ke Bagian 17
Catatan Penulis:
Kisah ini memadukan sejarah dan imajinasi. Beberapa tokoh dan peristiwa diambil dari catatan sejarah, namun banyak pula unsur fiksi yang ditambahkan demi kepentingan sastra. Cerbung ini tidak dimaksudkan sebagai rujukan sejarah, melainkan sebagai upaya menghadirkan nilai moral tentang persahabatan, cinta, dan perjuangan menegakkan kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI