Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah Berdirinya Candi Borobudur [XVI]

19 September 2025   03:52 Diperbarui: 19 September 2025   03:52 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bagian 16: Persiapan Perang

Beberapa hari setelah gugurnya Indrayana, suasana istana Syailendra perlahan berubah. Dari kesedihan, lahir semangat baru. Pancapana, kini resmi menjadi menantu Prabu Smarattungga, mulai memimpin persiapan besar untuk menghadapi Panangkaran.

Balairung istana dipenuhi para panglima dan prajurit. Peta kerajaan dibentangkan di atas meja batu. Pancapana berdiri tegak, sorot matanya tajam. Di sampingnya, Pramudawardhani mendampingi dengan tenang, sementara Candradewi duduk di sudut, wajahnya masih murung namun penuh tekad.

"Panangkaran tidak akan tinggal diam," ujar Pancapana lantang. "Ia sudah mengirim pembunuh untuk menjatuhkanku. Jika kita menunggu, ia akan menyerang dengan kekuatan penuh. Karena itu, kita harus mendahului dengan persiapan matang."

Seorang panglima maju, menunduk hormat. "Pasukan Syailendra siap, Paduka. Kami memiliki seribu prajurit berkuda, dua ribu infanteri, dan balatentara pemanah dari perbukitan. Namun Mataram di bawah Panangkaran masih lebih kuat."

Prabu Smarattungga menambahkan, "Itulah sebabnya kita harus mengandalkan strategi, bukan hanya jumlah pasukan. Pancapana, aku ingin kau memimpin barisan depan. Anggaplah ini ujian pertama sebagai ksatria dan menantuku."

Pancapana menunduk hormat. "Dengan segenap jiwa raga, aku terima amanat ini."

Malam harinya, Pancapana duduk sendiri di serambi, menatap bulan yang menggantung. Candradewi menghampiri, membawa kendi air.

"Pancapana," katanya lirih, "Indrayana pasti bangga melihatmu sekarang. Tapi aku mohon... jangan biarkan dendam membutakanmu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun