Shih Pie mendadak tertarik. "Bukan Kertanegara?"
"Tidak!" bisik Raden Wijaya penuh dramatisasi. "Itu adalah fitnah yang disebarkan Jayakatwang! Dialah yang membunuh Kertanegara sebelum Kertanegara sempat memberikan jawaban pada utusan Khan! Dia takut Kertanegara akan bersekutu dengan Mongol dan menguatkan Singhasari, membuatnya tak bisa dikalahkan! Semua ini ulah Jayakatwang! Dia bukan hanya pengkhianat bagi saya, tapi juga bagi Kubilai Khan yang agung!"
Kebohongan itu diucapkan dengan keyakinan yang begitu kuat. Shih Pie terdiam, memproses informasi ini. Keraguannya terhadap Jayakatwang selama ini menemukan 'buktinya'.
"Ini... sebuah tuduhan yang sangat serius," kata Shih Pie akhirnya.
"Saya tidak meminta Tuan untuk mempercayai saya," lanjut Raden Wijaya, pura-pura pasrah. "Tapi lihatlah sendiri. Bagaimana caranya menjamu Tuan? Dengan penuh ketakutan dan kecurigaan, atau dengan ketulusan? Dia hanya menggunakan Tuan untuk mengukuhkan kekuasaannya yang direbut dengan darah!"
Percakapan itu berakhir tanpa kesimpulan, tetapi benih keraguan telah tertanam dengan sempurna di pikiran Shih Pie.
Beberapa hari kemudian, giliran Ike Mise yang menjadi target. Raden Wijaya mendekatinya di lapangan latihan, memuji keperkasaan dan strategi perang Mongol.
"Pasukan Paduka sangatlah perkasa," puji Raden Wijaya. "Sayang sekali kekuatan itu hanya digunakan untuk mengancam, padahal ada harta karun dan kejayaan yang jauh lebih besar menanti."
Ike Mise, yang mudah tersanjung, langsung tertarik. "Harta karun? Kejayaan? Maksudmu?"
"Jayakatwang," jawab Raden Wijaya. "Dia menyimpan harta rampasan dari Singhasari yang tak terhitung jumlahnya. Tapi dia pelit. Dia menjamu Tuan dengan remah-remah, sementara kekayaan yang sebenarnya disimpannya untuk dirinya sendiri. Dan kekuasaan? Dengan pasukan sekuat ini, Tuan bisa menjadi penguasa sejati di Jawa, bukan hanya tamu yang dihormati sementara."
Umpan itu ditelan mentah-mentah oleh Ike Mise yang ambisius.