Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Dendam Singhasari: Api Terakhir Majapahit [4-10]

11 September 2025   18:41 Diperbarui: 11 September 2025   17:41 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by ai/kam

OLEH: Khoeri Abdul Muid

[TARIAN DI ATAS SENJATA]

Kehidupan di dalam istana Kediri bagaikan hidup di dalam sangkar macan. Setiap langkah Raden Wijaya diawasi, setiap ucapannya dicatat oleh mata-mata yang tak terlihat. Namun, di balik topang penurutnya, otaknya terus berputar, menyusun strategi dan mengamati setiap celah kelemahan seperti seekor harimau yang mengendap-endap.

Target utamanya adalah para pemimpin Mongol. Shih Pie, sang jenderal tua yang bijaksana namun penuh curiga. Ike Mise, panglima perang yang garang dan haus akan kemuliaan. Dan Kao Sing, si ahli strategi yang matanya selalu berbinar menghitung keuntungan seperti seorang pedagang di pasar.

Suatu sore, di sebuah paviliun yang menghadap ke kolam teratai, kesempatan itu datang. Shih Pie sedang duduk sendirian, menikmati secangkir arak dan merenung. Raden Wijaya mendekat dengan lambat, membawa sebuah piring berisi buah-buahan segar sebagai persembahan.

"Keagungan dari Negeri Mongol," sapa Raden Wijaya dengan hormat, membungkuk rendah. "Semoga buah-buahan negeri kami yang sederhana ini bisa menyenangkan hati Tuan."

Shih Pie mengangguk singkat, matanya menyelidik bagai elang. "Kau adalah pangeran yang dikalahkan. Yang menyerah. Mengapa mendekati musuh dari negeri jauh?"

Inilah saatnya. Raden Wijaya mengambil nafas dalam-dalam, memainkan perannya dengan penuh keyakinan.

"Bagi saya, Tuan, musuh saya adalah Jayakatwang," jawabnya, suara dibuat bergetar penuh emosi yang tertahan. "Dia telah membunuh mertua saya, Prabu Kertanegara, seorang raja yang bijaksana. Dia menghancurkan kerajaan saya, membantai rakyat saya. Saya menyerah bukan karena takut, tapi karena ingin hidup untuk membalas dendam."

Dia menunduk, pura-pura menyembunyikan air mata kebencian. "Saya mendengar Tuan datang untuk menuntut keadilan bagi utusan Kubilai Khan yang dihinakan. Tapi tahukah Tuan siapa yang sebenarnya menghina mereka?"

Shih Pie mendadak tertarik. "Bukan Kertanegara?"

"Tidak!" bisik Raden Wijaya penuh dramatisasi. "Itu adalah fitnah yang disebarkan Jayakatwang! Dialah yang membunuh Kertanegara sebelum Kertanegara sempat memberikan jawaban pada utusan Khan! Dia takut Kertanegara akan bersekutu dengan Mongol dan menguatkan Singhasari, membuatnya tak bisa dikalahkan! Semua ini ulah Jayakatwang! Dia bukan hanya pengkhianat bagi saya, tapi juga bagi Kubilai Khan yang agung!"

Kebohongan itu diucapkan dengan keyakinan yang begitu kuat. Shih Pie terdiam, memproses informasi ini. Keraguannya terhadap Jayakatwang selama ini menemukan 'buktinya'.

"Ini... sebuah tuduhan yang sangat serius," kata Shih Pie akhirnya.

"Saya tidak meminta Tuan untuk mempercayai saya," lanjut Raden Wijaya, pura-pura pasrah. "Tapi lihatlah sendiri. Bagaimana caranya menjamu Tuan? Dengan penuh ketakutan dan kecurigaan, atau dengan ketulusan? Dia hanya menggunakan Tuan untuk mengukuhkan kekuasaannya yang direbut dengan darah!"

Percakapan itu berakhir tanpa kesimpulan, tetapi benih keraguan telah tertanam dengan sempurna di pikiran Shih Pie.

Beberapa hari kemudian, giliran Ike Mise yang menjadi target. Raden Wijaya mendekatinya di lapangan latihan, memuji keperkasaan dan strategi perang Mongol.

"Pasukan Paduka sangatlah perkasa," puji Raden Wijaya. "Sayang sekali kekuatan itu hanya digunakan untuk mengancam, padahal ada harta karun dan kejayaan yang jauh lebih besar menanti."

Ike Mise, yang mudah tersanjung, langsung tertarik. "Harta karun? Kejayaan? Maksudmu?"

"Jayakatwang," jawab Raden Wijaya. "Dia menyimpan harta rampasan dari Singhasari yang tak terhitung jumlahnya. Tapi dia pelit. Dia menjamu Tuan dengan remah-remah, sementara kekayaan yang sebenarnya disimpannya untuk dirinya sendiri. Dan kekuasaan? Dengan pasukan sekuat ini, Tuan bisa menjadi penguasa sejati di Jawa, bukan hanya tamu yang dihormati sementara."

Umpan itu ditelan mentah-mentah oleh Ike Mise yang ambisius.

Sementara itu, kepada Kao Sing, Raden Wijaya berbicara bahasa yang berbeda: logika dan keuntungan.

"Jayakatwang tidak stabil. Rakyat membencinya. Mendukungnya adalah taruhan yang merugi," katanya. "Tapi jika Tuan yang mengambil alih, atau mendukung pemimpin yang lebih bisa dipercaya... Jawa akan menjadi sekutu yang setia dan sumber kekayaan yang tak ada habisnya bagi Mongol."

Dalam diam, Arya Wiraraja mengamati dari jauh, senyum tipis selalu menghiasi bibirnya. Permainannya berjalan sempurna. Raden Wijaya adalah aktor yang brilian.

Percakapan-percakapan racun ini berlangsung selama berminggu-minggu. Perlahan, tapi pasti, suasana di istana Kediri berubah. Mongol yang awalnya dijamu dengan baik, mulai menunjukkan sikap sinis dan menuntut. Mereka mulai mempertanyakan di mana 'bagian mereka' yang sebenarnya dari jarahan Singhasari.

Jayakatwang, yang merasa statusnya sebagai raja terusik, mulai kehilangan kesabaran. Ketakutannya pada Mongol berubah menjadi kebencian. Ia mulai membatasi pergerakan mereka dan mengurangi jamuan.

Hubungan yang sudah tegang ini akhirnya pecah oleh sebuah insiden kecil. Seorang prajurit Mongol dan prajurit Kediri bertengkar memperebutkan seorang pelayan wanita. Pertengkaran itu berujung pada tewasnya prajurit Mongol.

Ike Mise murka. Dia menyerbu balairung istana, menuntut kepala prajurit Kediri yang bersalah.

Jayakatwang, yang gengsinya terusik, menolak. "Ini istanaku! Hukumku yang berlaku!"

"Kau lupa siapa yang memberimu tahta ini?!" teriak Ike Mise, yang sudah termakan racun hasutan Raden Wijaya. "Kau hanya boneka! Boneka yang bisa kita pecahkan kapan saja!"

Pertemuan itu berakhir dengan bentakan dan ancaman. Jembatan antara Kediri dan Mongol telah runtuh. Perang yang telah diprediksi dan direncanakan oleh Raden Wijaya dan Wiraraja kini tinggal menunggu waktu saja.

Di kamarnya, Raden Wijaya melihat ke cermin. Dia melihat bayangan seorang lelaki yang hampir tidak dikenalnya lagi. Seorang lelaki yang penuh dengan kebohongan dan manipulasi. Tapi di baliknya, ada tekad yang membara. Api untuk membalas dendam dan membangun kembali apa yang telah hancur.

"Bersiaplah, Sora, Nambi," bisiknya pada pengikut setianya di malam hari. "Badai yang kita tunggu-tunggu akhirnya datang. Dan kita akan menjadi angin yang mengarahkannya ke sasaran."

Istana Kediri yang megah telah berubah menjadi bubuk mesiu. Dan Raden Wijaya telah menyalakan sumbunya.

BERSAMBUNG. [SEKUTU DARI UTARA, MUSUH DARI DALAM]

Disclaimer:

Kisah ini adalah sebuah novel fiksi sejarah yang terinspirasi dari peristiwa dan tokoh-tokoh nyata di era pendirian Kerajaan Majapahit. Meskipun menggunakan nama-nama asli seperti Raden Wijaya dan Jayakatwang, alur cerita, dialog, dan penggambaran karakter di dalamnya adalah murni hasil imajinasi penulis. Cerita ini tidak dapat dijadikan sebagai sumber referensi sejarah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun