OLEH: Khoeri Abdul Muid
[PERSEMBUNYIAN DAN BENIH PENGKHIANATAN]
Hutan Tarik menyambut mereka dengan sunyi yang nyaris menyesakkan. Udara lembab dan berat, sarat dengan aroma tanah basah dan daun-daun membusuk. Gemerisik binatang malam dan desau angin yang menggereti daun-daun besar menjadi irama pengasingan mereka yang baru. Bekas luka di wajah dan tubuh para prajurit perlahan sembuh, tetapi luka di jiwa mereka masih segar dan berdenyut-denyut nyeri.
Raden Wijaya menyingsingkan lengan bajunya yang kasar, tak lagi sutra halus yang biasa dikenakannya di istana. Tangannya yang dulu memegang pusaka kerajaan, kini mencengkram kapak kayu dengan erat, membelah kayu untuk membangun tempat berteduh.
"Pukul lebih dalam, Sora!" serunya pada Lembu Sora yang sedang membelah sebuah kayu gelondongan besar. "Kita butuh papan untuk atap, bukan serpihan untuk api unggun!"
Lembu Sora menghela nafas, menyeka keringat yang mengalir di dahinya. "Lebih mudah menghadapi seratus prajurit Kediri daripada satu batang kayu keras ini, Tuanku. Kayu ini sekeras hati Jayakatwang!"
Dari balik pepohonan, Nambi muncul, membawa beberapa umbi-umbian dan buah berwarna merah kekuningan yang aneh. "Perut kosong juga tidak akan mengisi tenaga kita, Tuanku. Mari kita istirahat sejenak. Alam menyediakan, meski sedikit."
Mereka duduk di atas batang kayu yang tumbang. Raden Wijaya mengambil buah itu, memutar-mutarnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa ini?"
"Penduduk sini menyebutnya buah maja," jelas Nambi. "Tapi mereka memperingatkan, jangan memakannya. Katanya pahitnya bukan main."
Raden Wijaya penasaran. Ia menggigitnya, dan seketika wajahnya mengerut. "Pfft! Benar. Pahitnya... menusuk ke tulang. Seperti nasib kita sekarang."
Dia meludahkannya, tetapi matanya tetap menatap buah itu dengan intens. Sebuah pemikiran muncul dalam benaknya, perlahan tapi pasti.
"Ini dia," bisiknya, suaranya tiba-tiba penuh keyakinan. "Kita adalah buah ini. Terbuang, tersembunyi, dan pahit. Tapi dari kepahitan inilah kita akan menemukan kekuatan. Dari sini, kita akan membangun sesuatu yang baru. Tempat ini tidak akan lagi disebut persembunyian. Ini akan menjadi desa kita. Dan kita akan menamakannya... Majapahit."
Lembu Sora dan Nambi saling memandang. Nama itu terasa aneh di lidah, tetapi mengandung kekuatan dan janji. Sebuah janji yang terpatri dalam kepahitan.
"Majapahit," ucap Nambi, mencoba merasakan kata itu di lidahnya. "Sebuah nama yang akan mereka kenang."
Beberapa minggu kemudian, kehidupan perlahan-lahan teratur. Gubuk-gubuk sederhana berdiri. Beberapa penduduk lokal yang penasaran mulai mendekat, tertarik oleh keteguhan para pendatang baru ini. Raden Wijaya, dengan karisma yang dimilikinya, mulai merekrut mereka dengan bijaksana. Latihan perang dilakukan diam-diam di antara pepohonan, di bawah naungan rimbunnya dedaunan.
Suatu sore, seorang pedagang dari utara tiba di pemukiman kecil itu, wajahnya kecut membawa kabar yang menggetarkan.
"Ada angin perang baru, Tuan," katanya pada Raden Wijaya, yang menyamar sebagai kepala desa. "Pasukan yang sangat besar, seperti yang belum pernah diliat mata. Mereka mendarat di Tuban."
"Pasukan? Siapa?" tanya Raden Wijaya, hatinya berdebar tidak karuan.
"Mereka menyebut diri sendiri Mongol," jawab pedagang itu, menurunkan suaranya hingga nyaris berbisik. "Wajah mereka berbeda, baju besinya aneh. Dipimpin oleh orang yang mereka panggil Shih Pie dan Ike Mise. Katanya diutus oleh Kaisar besar dari daratan, Kubilai Khan. Mereka menuntut penjelasan tentang nasib utusan mereka yang dihinakan oleh... oleh Prabu Kertanegara."
Raden Wijaya terdiam. Matanya berbinar seperti singa yang melihat mangsa baru. Kertanegara sudah tiada. Yang harus bertanggung jawab sekarang adalah Jayakatwang.
"Dan Jayakatwang?" tanyanya, mencoba menyembunyikan gejolak harap dalam dadanya.
"Dia menyambut mereka dengan terbuka, Tuan! Seolah-olah mereka adalah sekutu lama. Dia menjamu mereka di istana Kediri, berpesta pora. Tapi... ada desas-desus. Dia seperti anjing yang menjilat tuannya yang baru, takut akan amarah Mongol."
Saat pedagang itu pergi, Raden Wijaya segera mengumpulkan Sora dan Nambi.
"Kau dengar itu, Nambi?" tanya Raden Wijaya, senyum tipis mengembang di wajahnya. "Dia takut. Jayakatwang yang congkak itu takut."
"Ini adalah kekacauan yang sempurna, Tuanku," jawab Nambi, pikirannya sudah bekerja cepat. "Dua harimau dalam satu kandang. Mongol dan Kediri. Satu lapar, satu lagi takut."
"Bukan dua harimau, Nambi," sela Raden Wijaya, sorot matanya tajam dan licik. "Tiga. Kita adalah harimau ketiga. Dan kita akan membiarkan mereka saling menerkam, lalu kita akan menerkam yang tersisa."
Dia berjalan mondar-mandir, energi baru mengalir dalam dirinya.
"Sora, siapkan beberapa orang terpercaya. Kita akan melakukan perjalanan."
"Ke mana, Tuanku?" tanya Lembu Sora.
"Ke Kandang Harimau yang pertama. Ke Kediri."
Lembu Sora terkejut. "Masuk ke Kediri? Itu ibarat menjerumuskan diri ke mulut singa!"
"Tidak," bantah Raden Wijaya. "Itu adalah langkah paling cerdik yang akan kita lakukan. Kita akan datang bukan sebagai musuh. Kita akan datang dengan kepala tertunduk... dan pisau terhunus di balik punggung."
Dia memandang ke arah hutan, seolah bisa melihat istana Kediri di kejauhan.
"Kita akan menyerah pada Jayakatwang. Kita akan puji kemenangannya, kita akan akui kekalahan kita. Kita akan menjadi orang buangan yang hina yang mencari belas kasihan."
Nambi mengangguk, perlahan memahami rencana gila itu. "Dan saat kita sudah masuk, saat kepercayaannya kita dapatkan..."
"...kita akan membisikkan racun di telinga Mongol," selesaikan Raden Wijaya, senyumnya semakin lebar dan dingin. "Kita akan ceritakan pada mereka bahwa Jayakatwanglah pengkhianat sejati. Pembunuh Kertanegara. Penghina Kubilai Khan. Kita akan jadikan amarah Mongol sebagai senjata kita."
"Dan setelah Jayakatwang hancur?" tanya Lembu Sora.
"Lalu kita akan hadapi Mongol yang sudah lelah dan lengah," jawab Raden Wijaya. "Kita undang mereka berpesta, kita buat mereka mabuk kemenangan... dan kita sembelih mereka di tengah pesta mereka sendiri."
Suasana hening sejenak. Rencana itu begitu kejam, begitu penuh pengkhianatan berlapis. Namun, di mata mereka yang telah kehilangan segalanya, itu adalah satu-satunya cahaya.
"Kita akan menjadi arsitek kehancuran mereka semua," bisik Raden Wijaya, lebih kepada dirinya sendiri. "Dari pahitnya buah ini, kita akan racun untuk musuh-musuh kita."
"Majapahit," gumam Nambi. Kini ia mengerti sepenuhnya makna nama itu. Itu bukan hanya tentang penderitaan mereka. Itu adalah tentang racun yang akan mereka tuangkan kepada siapa pun yang mengancam. Babak baru permainan intrik yang mematikan telah dimulai.
BERSAMBUNG [TOPENG PENYERAHAN DAN BISIKAN RACUN]
Disclaimer:
Kisah ini adalah sebuah novel fiksi sejarah yang terinspirasi dari peristiwa dan tokoh-tokoh nyata di era pendirian Kerajaan Majapahit. Meskipun menggunakan nama-nama asli seperti Raden Wijaya dan Jayakatwang, alur cerita, dialog, dan penggambaran karakter di dalamnya adalah murni hasil imajinasi penulis. Cerita ini tidak dapat dijadikan sebagai sumber referensi sejarah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI