"Dia menyambut mereka dengan terbuka, Tuan! Seolah-olah mereka adalah sekutu lama. Dia menjamu mereka di istana Kediri, berpesta pora. Tapi... ada desas-desus. Dia seperti anjing yang menjilat tuannya yang baru, takut akan amarah Mongol."
Saat pedagang itu pergi, Raden Wijaya segera mengumpulkan Sora dan Nambi.
"Kau dengar itu, Nambi?" tanya Raden Wijaya, senyum tipis mengembang di wajahnya. "Dia takut. Jayakatwang yang congkak itu takut."
"Ini adalah kekacauan yang sempurna, Tuanku," jawab Nambi, pikirannya sudah bekerja cepat. "Dua harimau dalam satu kandang. Mongol dan Kediri. Satu lapar, satu lagi takut."
"Bukan dua harimau, Nambi," sela Raden Wijaya, sorot matanya tajam dan licik. "Tiga. Kita adalah harimau ketiga. Dan kita akan membiarkan mereka saling menerkam, lalu kita akan menerkam yang tersisa."
Dia berjalan mondar-mandir, energi baru mengalir dalam dirinya.
"Sora, siapkan beberapa orang terpercaya. Kita akan melakukan perjalanan."
"Ke mana, Tuanku?" tanya Lembu Sora.
"Ke Kandang Harimau yang pertama. Ke Kediri."
Lembu Sora terkejut. "Masuk ke Kediri? Itu ibarat menjerumuskan diri ke mulut singa!"
"Tidak," bantah Raden Wijaya. "Itu adalah langkah paling cerdik yang akan kita lakukan. Kita akan datang bukan sebagai musuh. Kita akan datang dengan kepala tertunduk... dan pisau terhunus di balik punggung."