Dia meludahkannya, tetapi matanya tetap menatap buah itu dengan intens. Sebuah pemikiran muncul dalam benaknya, perlahan tapi pasti.
"Ini dia," bisiknya, suaranya tiba-tiba penuh keyakinan. "Kita adalah buah ini. Terbuang, tersembunyi, dan pahit. Tapi dari kepahitan inilah kita akan menemukan kekuatan. Dari sini, kita akan membangun sesuatu yang baru. Tempat ini tidak akan lagi disebut persembunyian. Ini akan menjadi desa kita. Dan kita akan menamakannya... Majapahit."
Lembu Sora dan Nambi saling memandang. Nama itu terasa aneh di lidah, tetapi mengandung kekuatan dan janji. Sebuah janji yang terpatri dalam kepahitan.
"Majapahit," ucap Nambi, mencoba merasakan kata itu di lidahnya. "Sebuah nama yang akan mereka kenang."
Beberapa minggu kemudian, kehidupan perlahan-lahan teratur. Gubuk-gubuk sederhana berdiri. Beberapa penduduk lokal yang penasaran mulai mendekat, tertarik oleh keteguhan para pendatang baru ini. Raden Wijaya, dengan karisma yang dimilikinya, mulai merekrut mereka dengan bijaksana. Latihan perang dilakukan diam-diam di antara pepohonan, di bawah naungan rimbunnya dedaunan.
Suatu sore, seorang pedagang dari utara tiba di pemukiman kecil itu, wajahnya kecut membawa kabar yang menggetarkan.
"Ada angin perang baru, Tuan," katanya pada Raden Wijaya, yang menyamar sebagai kepala desa. "Pasukan yang sangat besar, seperti yang belum pernah diliat mata. Mereka mendarat di Tuban."
"Pasukan? Siapa?" tanya Raden Wijaya, hatinya berdebar tidak karuan.
"Mereka menyebut diri sendiri Mongol," jawab pedagang itu, menurunkan suaranya hingga nyaris berbisik. "Wajah mereka berbeda, baju besinya aneh. Dipimpin oleh orang yang mereka panggil Shih Pie dan Ike Mise. Katanya diutus oleh Kaisar besar dari daratan, Kubilai Khan. Mereka menuntut penjelasan tentang nasib utusan mereka yang dihinakan oleh... oleh Prabu Kertanegara."
Raden Wijaya terdiam. Matanya berbinar seperti singa yang melihat mangsa baru. Kertanegara sudah tiada. Yang harus bertanggung jawab sekarang adalah Jayakatwang.
"Dan Jayakatwang?" tanyanya, mencoba menyembunyikan gejolak harap dalam dadanya.